Rabu, 13 Agustus 2025

Badai PHK

Pekerja Dibayangi Badai PHK, Buruh Ungkap Biang Keroknya, Singgung Data 'Asal Bapak Senang'

Berdasarkan data Sakernas BPS periode Agustus 2024 sampai dengan Februari 2025, telah terjadi PHK 939.038 Pekerja dari 14 jenis sektor usaha (KBLI). 

|
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
BADAI PHK - Ribuan buruh pulang kerja di salah satu pabrik di Jalan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan data Sakernas BPS periode Agustus 2024 sampai dengan Februari 2025, telah terjadi PHK 939.038 Pekerja dari 14 jenis sektor usaha (KBLI).  

Pertama, Kemenperin tidak menyajikan data dalam bentuk tabel jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, sektor formal atau informal, dan di daerah mana saja terjadi serapan tenaga kerja. 

Kedua, dana Kemenperin dalam semester pertama (Januari - Juni 2025) bertolak belakang dengan data disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) dalam kurun waktu yang sama menyatakan jumlah peserta BP Jamsostek menurun akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.

“Bila mengikuti alur berpikir Kemenperin, seharusnya peserta BPJS TK jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Tetapi kenapa BP Jamsostek menyebut jumlah peserta di kurun waktu Januari - Juni 2025 menurun angkanya. Sungguh ini data yang aneh,” ujar Said.

Ketiga, jangan-jangan Kemenperin mencampur adukkan dalam penyajian data serapan tenaga kerja 303 ribu orang tersebut menggabungkan pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap. 

Misal orang yang diserap bekerja sebagai Gojek, Grab, Sofie, atau platform lain, bekerja di dapur MBG, pekerja paruh waktu, dan sektor informal lainnya. 

Jelas bila ini dilakukan, makan data Kemenperin adalah absidt absurd dan politis karena pekerja informal tersebut serapan tenaga kerja informal tersebut tidak ada perlindungan sosial dan di bawah upah minimum. Inilah patut diduga data 303 ribu orang ini "asal bapak senang dan politis". 

Keempat, apakah Kemenperin ketika menyajikan data serapan tenaga kerja sebesar 303 ribu orang tersebut menggunakan definisi BPS, yang mendefinisikan orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu Minggu. 

Bila definisi ini yang dipakai, maka data Kemenperin itu bias. Kelima, fakta di lapangan melalui media televisi atau media sosial sangat jelas terlihat, pelaksanaan "job fair" di seluruh Indonesia seringkali terjadi kericuhan dan membludak orang yang mencari kerja melalui “job fair” tersebut, diperkirakan serapan tenaga kerja melalui “job fair” tersebut kurang dari lima persen dari total pencari kerja. 

Misal “job fair” di Bekasi dan Cianjur, menjelaskan fenomena susahnya orang mencari kerja dan tidak ada serapan tenaga kerja yang sesuai dengan data yang disajikan oleh Kemenperin RI.

Keenam, memang ada industri sepatu dari investor luar negeri (Taiwan, Korea, dan China), yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. 

"Bahkan satu perusahaan bisa menyerap ribuan buruh tetapi mereka melakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menyerap tenaga kerjanya," paparnya.

 

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan