Senin, 11 Agustus 2025

Ekonomi Indonesia 2025

Data Ekonomi dan Angka Kemiskinan RI Versi BPS Tak Akurat: Bertolak Belakang dengan Kondisi Faktual

Akurasi data ekonomi dan angka kemiskinan Indonesia yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terus mengundang kritik keras.

|
Editor: Choirul Arifin
WARTA KOTA/WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
TAK AKURAT - Pemukiman liar warga miskin di bantaran rel kereta api di kawasan Petamburan, Tanah Abang , Jakarta Pusat. Akurasi data ekonomi dan angka kemiskinan Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kuartal II 2025 dinilai tak akurat dan tidak mencerminkan kondisi di lapangan. 

Dasar data yang digunakan masih berasal dari BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja informal seperti ojol, pekerja kontrak, dan outsourcing kembali dikecualikan.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai bahwa revisi garis kemiskinan semestinya bukan hal tabu. 

“Malaysia melakukan revisi pada 2019 untuk memperbesar cakupan bantuan sosial. Sementara Indonesia masih ragu karena kekhawatiran terhadap lonjakan angka kemiskinan yang bisa membebani APBN, terutama di tengah rendahnya rasio pajak dan meningkatnya utang jatuh tempo tahun ini,” ujar Bhima.

Menurutnya, ketidakefektifan stimulus seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kembali menciptakan kesenjangan antara pekerja formal dan informal. 

Dasar data yang digunakan masih berasal dari BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja informal seperti ojol, pekerja kontrak, dan outsourcing kembali dikecualikan.

Usulkan Redefinisi dan Reformasi Data

CELIOS mengusulkan redefinisi kemiskinan menggunakan pendekatan disposable income, yakni pendapatan yang tersedia setelah kebutuhan pokok dan kewajiban dasar dipenuhi. 

Ini dinilai lebih mencerminkan kondisi riil rumah tangga dan memperhitungkan faktor geografis serta beban hidup generasi sandwich.

Sebagai referensi, CELIOS mengacu pada model Uni Eropa yang telah menerapkan konsep “hidup yang layak” sebagai indikator kemiskinan, yang mencakup dimensi kesehatan, pendidikan, pengangguran, hingga kebahagiaan warga.

CELIOS menegaskan, data kemiskinan harus menjadi alat evaluasi kebijakan, bukan alat politik. Tingkat kemiskinan perlu digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan fiskal, seperti program Makan Bergizi Gratis, PKH, atau subsidi pupuk.

Jika tidak berdampak pada penurunan kemiskinan, program tersebut harus dievaluasi ulang. 

CELIOS juga mendorong penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) terkait metodologi baru pengukuran kemiskinan. 

Perpres ini diharapkan menjadi dasar koordinasi lintas lembaga, integrasi data, dan harmonisasi program pengentasan kemiskinan nasional.


Laporan Reporter: Dendi Siswanto/Siti Masitoh/Nurtiandriyani Simamora | Sumber: Kontan

Sumber: Kontan
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan