Senin, 11 Agustus 2025

Ekonomi Indonesia 2025

Data Ekonomi dan Angka Kemiskinan RI Versi BPS Tak Akurat: Bertolak Belakang dengan Kondisi Faktual

Akurasi data ekonomi dan angka kemiskinan Indonesia yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terus mengundang kritik keras.

|
Editor: Choirul Arifin
WARTA KOTA/WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN
TAK AKURAT - Pemukiman liar warga miskin di bantaran rel kereta api di kawasan Petamburan, Tanah Abang , Jakarta Pusat. Akurasi data ekonomi dan angka kemiskinan Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kuartal II 2025 dinilai tak akurat dan tidak mencerminkan kondisi di lapangan. 

"Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, maka bukan hanya publik yang kehilangan pegangan, tetapi juga kebijakan ekonomi nasional akan salah arah," sebut Universitas Paramadina.

Lembaga The Prakarsa juga mengkritik metode penghitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS. 

Peneliti Kebijakan Sosial The Prakarsa, Pierre Bernando Ballo, menyebut BPS masih mengandalkan metode berbasis moneter dengan mengukur garis kemiskinan makanan dan non-makanan, atau cost of basic needs.

Baca juga: CELIOS Kirim Surat ke Badan Statistik PBB, Minta Audit Pertumbuhan Ekonomi yang Dirilis BPS 

"Metode ini cukup outdated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah," katanya.

Sigmaphi Indonesia juga merilis temuan bahwa pada 2023 masih terdapat 42,9 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 118,73 juta jiwa, hidup dalam kondisi tidak layak. 

Penghitungan ini menggunakan pendekatan berbasis basic rights (hak dasar), berbeda dari basic needs (kebutuhan dasar) yang digunakan BPS.

Sigmaphi merekomendasikan pemerintah mengubah indikator resmi kesejahteraan dengan memasukkan hak dasar, serta menempatkan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai prioritas.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar di acara diskusi publik di Jakarta Mei 2025 lalu menjelaskan, pendekatan BPS masih bertumpu pada garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan pengeluaran rumah tangga. 

“Pendekatan ini sah di era 1970-an, tetapi gagal menangkap tantangan kontemporer seperti beban utang, ketimpangan akses layanan, dan tekanan keuangan kelas menengah,” ujarnya, Rabu 28 Mei 2025.

Ia mencontohkan, rumah tangga yang terlilit pinjaman online atau terpaksa menjual aset demi pendidikan anak seringkali tidak tercatat sebagai miskin karena pengeluaran mereka dianggap tinggi. 

Bahkan, garis kemiskinan yang digunakan saat ini justru berasal dari kelompok referensi dengan daya beli menurun, menyebabkan ilusi perbaikan kemiskinan padahal kesejahteraan memburuk.

Risiko Kebijakan dan Ketimpangan Data

Kondisi ini berdampak serius pada perumusan kebijakan. Skema bantuan sosial berpotensi salah sasaran dan anggaran perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia tak perlu tabu merevisi garis kemiskinan.

“Malaysia melakukan revisi pada 2019 untuk memperbesar cakupan bantuan sosial. Sementara Indonesia masih ragu karena kekhawatiran terhadap lonjakan angka kemiskinan yang bisa membebani APBN, terutama di tengah rendahnya rasio pajak dan meningkatnya utang jatuh tempo tahun ini,” ujar Bhima.

Dia juga menilai, stimulus seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU) tidak efektif dijalankan karena kembali menciptakan kesenjangan antara pekerja formal dan informal. 

Halaman
123
Sumber: Kontan
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan