Ekonomi Indonesia 2025
Data Ekonomi dan Angka Kemiskinan RI Versi BPS Tak Akurat: Bertolak Belakang dengan Kondisi Faktual
Akurasi data ekonomi dan angka kemiskinan Indonesia yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terus mengundang kritik keras.
Editor:
Choirul Arifin
"Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, maka bukan hanya publik yang kehilangan pegangan, tetapi juga kebijakan ekonomi nasional akan salah arah," sebut Universitas Paramadina.
Lembaga The Prakarsa juga mengkritik metode penghitungan angka kemiskinan yang digunakan BPS.
Peneliti Kebijakan Sosial The Prakarsa, Pierre Bernando Ballo, menyebut BPS masih mengandalkan metode berbasis moneter dengan mengukur garis kemiskinan makanan dan non-makanan, atau cost of basic needs.
Baca juga: CELIOS Kirim Surat ke Badan Statistik PBB, Minta Audit Pertumbuhan Ekonomi yang Dirilis BPS
"Metode ini cukup outdated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah," katanya.
Sigmaphi Indonesia juga merilis temuan bahwa pada 2023 masih terdapat 42,9 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 118,73 juta jiwa, hidup dalam kondisi tidak layak.
Penghitungan ini menggunakan pendekatan berbasis basic rights (hak dasar), berbeda dari basic needs (kebutuhan dasar) yang digunakan BPS.
Sigmaphi merekomendasikan pemerintah mengubah indikator resmi kesejahteraan dengan memasukkan hak dasar, serta menempatkan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai prioritas.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar di acara diskusi publik di Jakarta Mei 2025 lalu menjelaskan, pendekatan BPS masih bertumpu pada garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan pengeluaran rumah tangga.
“Pendekatan ini sah di era 1970-an, tetapi gagal menangkap tantangan kontemporer seperti beban utang, ketimpangan akses layanan, dan tekanan keuangan kelas menengah,” ujarnya, Rabu 28 Mei 2025.
Ia mencontohkan, rumah tangga yang terlilit pinjaman online atau terpaksa menjual aset demi pendidikan anak seringkali tidak tercatat sebagai miskin karena pengeluaran mereka dianggap tinggi.
Bahkan, garis kemiskinan yang digunakan saat ini justru berasal dari kelompok referensi dengan daya beli menurun, menyebabkan ilusi perbaikan kemiskinan padahal kesejahteraan memburuk.
Risiko Kebijakan dan Ketimpangan Data
Kondisi ini berdampak serius pada perumusan kebijakan. Skema bantuan sosial berpotensi salah sasaran dan anggaran perlindungan sosial terhadap PDB Indonesia menjadi salah satu yang terendah di Asia.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia tak perlu tabu merevisi garis kemiskinan.
“Malaysia melakukan revisi pada 2019 untuk memperbesar cakupan bantuan sosial. Sementara Indonesia masih ragu karena kekhawatiran terhadap lonjakan angka kemiskinan yang bisa membebani APBN, terutama di tengah rendahnya rasio pajak dan meningkatnya utang jatuh tempo tahun ini,” ujar Bhima.
Dia juga menilai, stimulus seperti Bantuan Subsidi Upah (BSU) tidak efektif dijalankan karena kembali menciptakan kesenjangan antara pekerja formal dan informal.
Sumber: Kontan
Ekonomi Indonesia 2025
19 Juta Lapangan Pekerjaan yang Dijanjikan Gibran Sulit Terealisasi, Ekonom Ungkap Faktornya |
---|
Netizen Soroti Janji Gibran Buka 19 Juta Lapangan Pekerjaan: Publik Tak Lihat Roadmap yang Jelas |
---|
Job Fair di Bekasi Ricuh, CELIOS: Bukti Pemerintah Tak Serius Fasilitasi Kenyamanan Pencari Kerja |
---|
Terjadi Deindustrialisasi Prematur di Sektor Padat Karya, Ekonom Beri Saran kepada Pemerintah |
---|
Tambahan Uang Beredar Turun, PDB Nasional Tak Optimal |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.