Selasa, 16 September 2025

Penerapan TKDN Sektor Migas Disebut Belum Optimal, Berpotensi Timbulkan PHK Massal

Mengabaikan TKDN sama saja mempertaruhkan masa depan industri nasional dan jutaan pekerja di berbagai daerah.

dok. Kompas
INDUSTRI MIGAS - Ilustrasi. Penerapan TKDN di sektor migas sudah tercantum Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, di mana Pasal 40 dan 41 UU Migas secara eksplisit menegaskan perlindungan ini agar industri nasional tidak tersingkir oleh barang impor. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kewajiban menggunakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mengelola kekayaan energi, disebut belum sepenuhnya dipenuhi.

Padahal penerapan TKDN sudah tercantum Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, di mana Pasal 40 dan 41 UU Migas secara eksplisit menegaskan perlindungan ini agar industri nasional tidak tersingkir oleh barang impor.

TKDN merupakan persentase nilai kandungan atau penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri yang ada dalam suatu produk atau jasa, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing industri nasional, serta mengurangi ketergantungan pada produk impor.

Baca juga: Persyaratan Baru TKDN Dipermudah dan Lebih Transparan

Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Rifqi Nuril Huda mengatakan, belum lama ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menerbitkan Permenperin Nomor 35 Tahun 2025 tentang Sertifikasi TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan.

Regulasi ini menggantikan aturan lama yang sudah tidak relevan. Namun, Rifqi menilai tantangan di lapangan masih sama.

“Fakta menunjukkan ada KKKS yang tetap memilih barang impor meskipun produk lokal tersedia. Bahkan ada dugaan manipulasi dokumen TKDN. Celah-celah ini bukan hanya melanggar kontrak, tapi juga merugikan industri lokal yang sedang tumbuh,” kata Rifki dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).

Rifqi mengingatkan, mengabaikan TKDN sama saja mempertaruhkan masa depan industri nasional dan jutaan pekerja.

“Kalau KKKS lebih memilih impor, perusahaan dalam negeri kehilangan peluang, pekerja kehilangan pekerjaan, dan negara kehilangan momentum membangun kemandirian,” tegasnya.

Menurutnya, situasi ini semakin berat di tengah tren penurunan investasi asing langsung (FDI) dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Sektor migas bukan pengecualian. Ketika TKDN tidak dijalankan, beban PHK justru bertambah,” ujarnya.

Padahal, lanjut Rifqi, filosofi Pasal 40 dan 41 UU Migas jelas: memberi ruang hidup bagi pelaku usaha domestik.

“Produk baja, pipa, valve, hingga jasa transportasi sejatinya bisa disediakan anak bangsa. Kalau itu diutamakan, efeknya berantai: industri tumbuh, tenaga kerja terserap, devisa tidak bocor, dan kepercayaan investor meningkat,” ungkapnya.

Lebih jauh, Rifqi menyoroti bahwa kewajiban TKDN erat kaitannya dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Ia pun mengingatkan bahwa SKK Migas sebenarnya punya instrumen sanksi jelas, mulai dari denda, pemotongan cost recovery, hingga pemutusan kontrak. Bahkan, pelanggaran berat bisa dijerat pidana dengan ancaman penjara lima tahun dan denda Rp50 miliar.

“Tetapi sanksi sekeras apa pun akan percuma kalau penegakan hukum tidak konsisten. Di sinilah publik sering pesimis, karena perusahaan besar dianggap bisa lolos dari jeratan hukum,” katanya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan