Penerapan TKDN Sektor Migas Disebut Belum Optimal, Berpotensi Timbulkan PHK Massal
Mengabaikan TKDN sama saja mempertaruhkan masa depan industri nasional dan jutaan pekerja di berbagai daerah.
Penulis:
Dennis Destryawan
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kewajiban menggunakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) mengelola kekayaan energi, disebut belum sepenuhnya dipenuhi.
Padahal penerapan TKDN sudah tercantum Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, di mana Pasal 40 dan 41 UU Migas secara eksplisit menegaskan perlindungan ini agar industri nasional tidak tersingkir oleh barang impor.
TKDN merupakan persentase nilai kandungan atau penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri yang ada dalam suatu produk atau jasa, yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing industri nasional, serta mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Baca juga: Persyaratan Baru TKDN Dipermudah dan Lebih Transparan
Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), Rifqi Nuril Huda mengatakan, belum lama ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menerbitkan Permenperin Nomor 35 Tahun 2025 tentang Sertifikasi TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan.
Regulasi ini menggantikan aturan lama yang sudah tidak relevan. Namun, Rifqi menilai tantangan di lapangan masih sama.
“Fakta menunjukkan ada KKKS yang tetap memilih barang impor meskipun produk lokal tersedia. Bahkan ada dugaan manipulasi dokumen TKDN. Celah-celah ini bukan hanya melanggar kontrak, tapi juga merugikan industri lokal yang sedang tumbuh,” kata Rifki dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025).
Rifqi mengingatkan, mengabaikan TKDN sama saja mempertaruhkan masa depan industri nasional dan jutaan pekerja.
“Kalau KKKS lebih memilih impor, perusahaan dalam negeri kehilangan peluang, pekerja kehilangan pekerjaan, dan negara kehilangan momentum membangun kemandirian,” tegasnya.
Menurutnya, situasi ini semakin berat di tengah tren penurunan investasi asing langsung (FDI) dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Sektor migas bukan pengecualian. Ketika TKDN tidak dijalankan, beban PHK justru bertambah,” ujarnya.
Padahal, lanjut Rifqi, filosofi Pasal 40 dan 41 UU Migas jelas: memberi ruang hidup bagi pelaku usaha domestik.
“Produk baja, pipa, valve, hingga jasa transportasi sejatinya bisa disediakan anak bangsa. Kalau itu diutamakan, efeknya berantai: industri tumbuh, tenaga kerja terserap, devisa tidak bocor, dan kepercayaan investor meningkat,” ungkapnya.
Lebih jauh, Rifqi menyoroti bahwa kewajiban TKDN erat kaitannya dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Ia pun mengingatkan bahwa SKK Migas sebenarnya punya instrumen sanksi jelas, mulai dari denda, pemotongan cost recovery, hingga pemutusan kontrak. Bahkan, pelanggaran berat bisa dijerat pidana dengan ancaman penjara lima tahun dan denda Rp50 miliar.
“Tetapi sanksi sekeras apa pun akan percuma kalau penegakan hukum tidak konsisten. Di sinilah publik sering pesimis, karena perusahaan besar dianggap bisa lolos dari jeratan hukum,” katanya.
Kronologi Pekerja Tewas Dalam Neon Box di Pekanbaru, Posisi Telungkup, Diduga Kesetrum |
![]() |
---|
Serikat Buruh Berharap Tak Ada Lagi Kerusahan saat Aksi Unjuk Rasa |
![]() |
---|
Lima Tips Menjaga Tubuh Tetap Sehat Buat Pekerja Kantoran yang Sibuk di Depan Laptop |
![]() |
---|
Gaji Pekerja Proyek Desa yang Dibiayai Bank Dunia Belum Dibayar, Koordinator Tagih ke Kemendagri |
![]() |
---|
Solidarity Cup 2025 Digelar, Jadi Sarana Pererat Solidaritas dan Jaga Gaya Hidup Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.