Minggu, 12 Oktober 2025

Pakar Ingatkan Potensi PHK dan Keberlanjutan Industri Sawit Pasca Terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025 

Salah satu sorotan utama dalam PP Nomor 45 Tahun 2025 adalah tarif denda administratif yang sangat tinggi.

zoom-inlihat foto Pakar Ingatkan Potensi PHK dan Keberlanjutan Industri Sawit Pasca Terbitnya PP Nomor 45 Tahun 2025 
KONTAN/DANIEL PRABOWO
ATURAN BARU INDUSTRI SAWIT - Pakar kehutanan Dr. Sadino mengingatkan ancaman terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri sawit pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025. PP ini mengatur tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang mengatur denda hingga Rp 25 juta per hektar per tahun bagi pelanggaran di industri sawit. KONTAN/DANIEL PRABOWO

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar kehutanan Dr. Sadino mengingatkan ancaman terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri sawit pasca terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025.

PP ini mengatur tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang mengatur denda hingga Rp 25 juta per hektar per tahun bagi pelanggaran di industri sawit, serta memperluas kewenangan Satgas PKH untuk tindakan seperti pencabutan izin dan pemblokiran rekening. 

PP ini sekaligus merupakan pengganti dari PP Nomor 24 Tahun 2021 

Sadino menilai PP terbaru memberatkan beban pelaku usaha karena besarnya denda, tetapi juga berpotensi mematikan sektor sawit nasional, terutama bagi petani dan pelaku usaha sawit kecil menengah.

Menurut Sadino  kelahiran PP Nomor 45 Tahun 2025 merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan industri sawit nasional.

Ia menilai proses pembahasan PP ini minim uji publik dan tidak melibatkan pemangku kepentingan utama, terutama petani sawit yang menguasai sekitar 42 persen lahan sawit nasional.

“Kalau sebelumnya PP No. 24 Tahun 2021 memberi ruang penyelesaian keterlanjuran secara administratif, PP yang baru ini justru mengarah pada pendekatan penghukuman. Paradigma kebijakan bergeser dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan,” ujar Sadino saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (9/10/2025).

Salah satu sorotan utama dalam PP Nomor 45 Tahun 2025 adalah tarif denda administratif yang sangat tinggi. Pemerintah menetapkan denda Rp25 juta per hektare per tahun bagi lahan sawit yang dikategorikan sebagai pelanggaran.

Baca juga: BPDPKS dan Pemprov Kalbar Dorong UKM Garap Komoditi Turunan Kelapa Sawit

Jika penguasaan lahan dilakukan selama 20 tahun, maka nilai dendanya mencapai Rp375 juta per hektare jauh melampaui nilai pasar lahan sawit yang hanya Rp50–100 juta per hektare.

“Angka itu tidak masuk akal dan membunuh pelaku usaha kecil dan menengah. Perusahaan besar pun akan terguncang arus kasnya. Kredit perbankan akan macet karena usaha ini dianggap tidak bankable."

"Akibatnya, bisa terjadi PHK massal dan penelantaran kebun sawit,” ujar Sadino yang juga staf pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

Dia menegaskan bahwa secara normatif, prinsip pengenaan denda seharusnya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran dan keuntungan yang diperoleh, bukan angka tetap.

Baca juga: Ekonom: Perusakan Kebun Sawit Ganggu Iklim Investasi, Kerugian Negara Capai Rp174 Triliun per Tahun

“UU Cipta Kerja menekankan denda berdasarkan persentase keuntungan, bukan nilai absolut yang memberatkan. Tujuannya memperbaiki kepatuhan, bukan mematikan usaha,” katanya.

Ia juga mengingatkan, kesalahan tata kelola kawasan hutan di masa lalu tidak sepenuhnya berada di tangan masyarakat atau pelaku sawit. 

Sebaliknya, andil kesalahan ada pada pemerintah di masa lalu karena belum adanya sumber perizinan satu peta.

Dan mayoritas perizinan muncul karena kebijakan otonomi daerah setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan pada bupati untuk memberikan izin.   

Sempai September lalu, Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) sudah menguasai kembali lahan ilegal seluas 3.312.022,75 hektare. Dari luasan tersebut, 915.206,46 hektare sudah diserahkan kepada kementerian terkait.

Dengan perincian, 833.413,46 hektare dialokasikan kepada BUMN, PT Agrinas Palma Nusantara untuk pengelolaan produktif, sementara 81.793,00 hektare dikembalikan sebagai kawasan konservasi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Sedangkan sisanya, 2.398.816,29 hektare, masih dalam proses administrasi dan segera diserahkan kepada kementerian terkait. 

Dalam pernyataannya, Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah mengungkapkan, penertiban kawasan hutan tidak sekadar berorientasi pada pidana, tapi juga mengutamakan penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara. 

Menurut dia, para pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara tidak sah kepada negara.

Febrie yang juga Jampidsus Kejagung ini mengatakan jika ada pihak yang tidak kooperatif, penyelesaian dapat ditingkatkan ke ranah penegakan hukum pidana, baik berdasarkan hukum administrasi, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU.

Dia berharap langkah tegas ini mendapat tanggapan positif dari para pelaku usaha. 

‘’Keberhasilan implementasi kebijakan ini akan memperkuat posisi negara dalam mengelola sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, kegagalan akan berimplikasi pada penindakan hukum yang lebih keras,’’ tandas Febrie dalam situs resmi kejaksaan. 

Lebih jauh, Sadino juga menyoroti luasan lahan yang akan diberikan sanksi denda. Lahan yang diklaim kawasan hutan sendiri tidak clear and clean dan tidak memenuhi norma hukum kehutanan. 

Terkait lahan sawit yang tidak ditanami, Sadino menegaskan bahwa secara hukum, denda hanya dapat dikenakan pada areal pelanggaran aktif. 

Lahan konservasi/HCV sempadan sungai, atau cadangan yang belum dibuka dan lahan masyarakat  tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. 

“Kalau Satgas merekomendasikan menghitung denda berdasarkan luas izin secara keseluruhan, itu merupakan unlawful act atau tindakan melawan hukum,” tegasnya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved