Senin, 17 November 2025

Muncul Wacana Adopsi Perjanjian Global Anti-Tembakau, DPR: Indonesia Harus Hati-hati

Wakil rakyat menyoroti wacana penerapan perjanjian internasional perihal pengendalian tembakau.

Tribunnews.com/Istimewa
AGENDA GLOBAL - Diskusi publik bertajuk 'Harapan Deregulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau' di Menara Kadin Indonesia, Jakarta. 
Ringkasan Berita:
  • Sejumlah tokoh menilai wacana penerapan FCTC di Indonesia berpotensi berdampak negatif terhadap jutaan pekerja, petani tembakau, dan pelaku usaha kecil.
  • Industri hasil tembakau dinilai berkontribusi besar bagi ekonomi nasional, menyerap hampir 6 juta tenaga kerja, dan menyetor cukai Rp216 triliun di 2024.
  • Kajian internasional menyebut Indonesia termasuk negara yang dikecualikan dari FCTC karena kontribusi ekonomi industrinya, sehingga penerapannya dianggap tidak relevan dengan kondisi nasional.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Sejumlah tokoh masyarakat dan wakil rakyat menyoroti wacana penerapan perjanjian internasional perihal pengendalian tembakau, yakni Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ke dalam regulasi nasional.

Penerapan FCTC dinilai dapat berefek negatif terhadap jutaan pekerja, petani tembakau, serta pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun menyayangkan sikap sebagian pihak yang sering menyangkal keberadaan industri hasil tembakau. Padahal sektor ini menyumbang signifikan terhadap ekonomi nasional.

Sehingga menurutnya, perlu kehati-hatian merumuskan kebijakan terkait industri padat karya ini agar tidak disusupi agenda global. 

Baca juga: Kepala Daerah Tolak Adopsi Regulasi FCTC, Khawatir Petani Tembakau Terpuruk

“Kita harus hati-hati terhadap agenda global yang bisa memastikan industri padat karya ini,” kata Misbakhun dalam diskusi 'Harapan Deregulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau' di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, dikutip Minggu (16/11/2025).

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Saleh Husin mengingatkan industri tembakau berkontribusi menyerap hampir 6 juta tenaga kerja, dan menyumbang penerimaan negara lewat cukai sebesar Rp216 triliun di tahun 2024.

Dari angka tersebut kata Saleh, industri ini menjadi penopang hidup bagi jutaan keluarga. Sehingga segala arah regulasi seyogianya diatur secara proporsional.

“Industri hasil tembakau bukan hanya sebagai sumber pendapatan, namun juga menjadi penopang kehidupan jutaan keluarga Indonesia. Karenanya, arah regulasi harus proporsional, bukan menekan,” terang Saleh.

Sementara itu, mantan jurnalis senior Bambang Harymurti, mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian internasional, Indonesia masuk dalam 4 negara yang dikecualikan dari penerapan FCTC lantaran kontribusi ekonomi yang signifikan. 

Dalam riset dan dokumen lama Bank Dunia (World Bank) yang jadi dasar kebijakan anti-tembakau tersebut, disebutkan hampir semua negara merugi akibat industri rokok. Namun Indonesia justru menjadi yang paling menonjol perihal kontribusi ekonomi.

Baca juga: Bupati Situbondo Kritik Aturan yang Menekan Industri Hasil Tembakau: Untuk Rakyat Saya Harus Dukung

“Dalam framework WHO itu disebutkan tidak berlaku bagi empat negara, salah satunya Indonesia. Jika begitu, mengapa kita harus menandatangani perjanjian yang justru tidak relevan dengan kondisi kita?” kata Bambang.

Kondisi sosial dan ekonomi Indonesia jadi pembeda dengan negara - negara lain yang tidak memiliki industri hasil tembakau. Sehingga kata Bambang, RI memiliki hak untuk menolak mengadopsi FCTC tanpa dianggap menentang konsensus global.

“Rokok bukanlah barang ilegal, sehingga pendekatan regulasi seharusnya tidak bertujuan untuk mematikan industrinya,” pungkas Bambang. (*)

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved