Senin, 24 November 2025

DJP Respons Fatwa MUI Soal Pajak, Dirjen Bimo: Barang Primer Tidak Kena PPN

Ditjen Pajak Kemenkeu menanggapi fatwa baru Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait perpajakan yang menyoroti larangan pajak berulang

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Sanusi
Nitis Hawaroh/Tribunnews.com
TANGGAPI FATWA MUI - Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menanggapi fatwa MUI soal perpajakan yang menyoroti larangan pajak berulang atas barang kebutuhan primer, usai rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (24/11/2025). 
Ringkasan Berita:
  • DJP hanya mengelola PBB untuk sektor tertentu seperti kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan, sementara PBB rumah tinggal, pemukiman, dan kawasan perkotaan berada di ranah pemerintah daerah.
  • Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam mengungkap barang kebutuhan primer masyarakat tidak boleh kena pajak berulang, dan barang bersifat konsumtif haram kena pajak. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menanggapi fatwa baru Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait perpajakan yang menyoroti larangan pajak berulang, atas barang kebutuhan primer serta penetapan pajak hanya bagi warga yang memiliki kemampuan finansial.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, menjelaskan sebagian besar isu yang disampaikan MUI sebenarnya sudah diatur dalam ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini.

Baca juga: Pajak Bruto Tumbuh Signifikan, Dirjen Bimo Ungkap Sektor Penopang Utamanya

"Kita kalau PPN itu kan sesuai. Memang kalau barang kebutuhan masyarakat memang tidak kena PPN 0 persen," ujar Bimo usai menghadiri rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (25/11/2025).

Terkait keluhan masyarakat soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah, Bimo menegaskan bahwa kebijakan PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah daerah.

“Terus kalau PBB, PBB itu kan sebenarnya undang-undangnya sudah diserahkan ke daerah. Jadi kebijakan, tarif, kenaikan dasar pengenaan, semuanya di daerah,” jelasnya.

Bimo menyebut DJP hanya mengelola PBB untuk sektor tertentu seperti kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan, sementara PBB rumah tinggal, pemukiman, dan kawasan perkotaan berada di ranah pemerintah daerah.

"Kami juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya. Jadi nanti akan coba kita tabayyun dengan MUI. Karena yang sebenarnya ditanyakan itu PBB-P2, dan itu di daerah," jelasnya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan sejumlah fatwa baru sebagai hasil sidang Komisi Fatwa dalam rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (22/11/2025). Salah satunya fatwa terkait perpajakan.

Fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat keagamaan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memberikan panduan hukum Islam bagi umat Muslim di Indonesia.

Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam mengungkap barang kebutuhan primer masyarakat tidak boleh kena pajak berulang, dan barang bersifat konsumtif haram kena pajak. 

"Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat itu tidak boleh dibebani pajak secara berulang. Kemudian barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako, itu juga tidak boleh dibebani pajak," kata Asrorun di lokasi.

Baca juga: Fatwa MUI: Zakat yang Dibayar Umat Islam Jadi Pengurang Bayaran Pajak ke Negara

Barang primer adalah barang kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi manusia untuk bertahan hidup. Barang ini mencakup kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda atau digantikan, karena menyangkut kelangsungan hidup sehari-hari.

Selain itu bumi dan bangunan yang dihuni serta memiliki sifat non-komersial juga tidak boleh dikenakan pajak berulang. Pertimbangannya, karena aset tersebut tidak berkembang. 

Keputusan soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini dilatarbelakangi kejadian di beberapa wilayah di mana pemerintah daerah menetapkan kenaikan PBB secara signifikan, kemudian menimbulkan reaksi masyarakat berujung aksi demonstrasi dan protes besar-besaran.

"Kemudian bumi dan bangunan yang dihuni, dalam pengertian dia non-komersial, tidak boleh dikenakan pajak berulang. Karena pada hakikatnya dia tidak berkembang," katanya.

Dalam fatwa perpajakan ini, MUI juga menetapkan pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial, di mana secara syar'i besaran kekayaan individu tersebut setara nisab zakat mal yakni 85 gram emas. 

Objek pajak yang kena pajak juga dikhususkan hanya kepada harta potensial untuk diproduktifkan, dan/atau kebutuhan sekunder dan tersier.

"Objek pajak itu dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan, dan/atau merupakan kebutuhan sekunder serta kebutuhan tersier," kata dia. 

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved