Kamis, 18 September 2025

Bambang Patijaya Dorong Reformasi PPN Intermediate untuk Perkuat Daya Saing Ekspor

Menurutnya, kebijakan fiskal saat ini justru mengurangi competitive advantage Indonesia di pasar global, khususnya ASEAN.

Editor: Content Writer
Istimewa
BAMBANG PATIJAYA - Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya. Bambang mendorong penghapusan PPN untuk barang olahan intermediate pada sektor mineral strategis sebagai langkah mendesak untuk memperkuat daya saing industri nasional dan menarik investasi asing. 

TRIBUNNEWS.COM — Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menyoroti pentingnya penghapusan PPN untuk barang olahan intermediate pada sektor mineral strategis. Menurutnya, penghapusan PPN menjadi mendesak untuk memperkuat daya saing industri nasional dan menarik investasi asing karena kebijakan fiskal saat ini justru mengurangi keunggulan kompetitif Indonesia di pasar global, khususnya ASEAN.

“PPN pada barang olahan intermediate meningkatkan biaya produksi dan memperlambat arus kas industri karena proses restitusi yang memakan waktu lebih dari 90 hari. Bahkan untuk industri berorientasi ekspor, meskipun PPN ekspor tarifnya 0 persen, mereka tetap harus menanggung PPN masukan di dalam negeri sebelum mendapatkan restitusi. Refund yang lambat ini membuat produk ekspor Indonesia kalah bersaing dibanding Vietnam dan Thailand yang memproses refund hanya dalam 15–30 hari,” ujar Bambang di Jakarta, Selasa (29/7).

Bambang menambahkan, “Prinsipnya, PPN seharusnya dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau barang olahan intermediate. Jika pajak dikenakan di awal rantai produksi, beban biaya akan menumpuk dan mengurangi daya saing industri nasional.”

Baca juga: Komisi XI DPR Apresiasi Capaian WTP ke-14 Kemenkeu: Jaga Akuntabilitas dan Transparansi

Adapun benchmark negara ASEAN lain seperti Vietnam adalah Tarif PPN 10%, zero-rated untuk ekspor dan sektor prioritas; refund 6–40 hari, sedangkan Thailand menerapkan Tarif VAT 7%, fasilitas bebas PPN untuk bahan baku ekspor di Free Trade Zone; refund maksimal 15 hari.

Sementara itu, Indonesia memberlakukan Tarif PPN 11%, berlaku di seluruh rantai produksi, dengan refund rata-rata lebih dari 90 hari.

“Jika kita tidak melakukan reformasi, proyek hilirisasi dan investasi strategis bisa beralih ke Vietnam atau Thailand. Padahal, dengan penghapusan PPN intermediate, kita bisa menurunkan biaya produksi 8–12 persen di sektor mineral strategis seperti ferronikel, timah ingot dan berbagai produk olahan intermediate lainnya,” tegasnya.

Baca juga: Ahmad Labib Desak Kemendag Lindungi Industri Baja Nasional dari Serbuan Impor Murah

Meski kebijakan ini berpotensi menurunkan penerimaan negara hingga Rp110 triliun per tahun, Bambang menekankan bahwa dampak tersebut dapat dikompensasi.

“Basis pajak akan naik dari masuknya investasi baru, PPh badan, dividen BUMN, dan pajak karbon. Insentif fiskal harus dilihat sebagai strategi jangka panjang untuk industrialisasi,” jelas legislator asal Bangka Belitung itu.

Selain penghapusan PPN intermediate untuk sektor strategis, Ia juga mengusulkan digitalisasi penuh proses restitusi PPN dengan SLA maksimal 30 hari. 

“Jika kita ingin menjadi basis manufaktur ASEAN, kebijakan fiskal harus agile, efisien, dan pro-hilirisasi,” pungkasnya.(*)

Baca juga: Alfons Manibui Apresiasi Pemerintah dan PLN, Listrik Mulai Terang di Wilayah 3T seperti Papua

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan