Sabtu, 22 November 2025

Preman ikut menata Tanah Abang? Siapa sebenarnya mereka?

Muncul perdebatan tentang ide untuk melibatkan 'preman' dalam penataan dan penertiban Tanah Abang, sesudah di masa Ahok peran mereka dpinggirkan.

"Mereka dicap sebagai kekuatan others, yang lain. Kata vrijman lebih disandingkan dengan kontestasi dan kontestasi itu dengan kekuatan. Jadi kata itu sebenarnya kata yang diciptakan oleh dunia kolonial dan kemudian dipakai lagi oleh dunia orde baru."

Tanah Abang
Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Tanah Abang menjadi 'lahan basah' berbagai kepentingan karena menjadi salah satu pusat perputaran uang di ibu kota

Lebih jauh, seiring perkembangan zaman dunia preman identik dengan dunia kekerasan. Pasalnya, preman bertalian erat dengan kekuasaan.

"Apalagi setelah peristiwa 98 ketika tentara, militer mendapat kritik mereka tidak lagi bisa lagi secara langsung, harus menggunakan orang lain untuk melaksanakan niat-niat mereka. Dan titik itu banyak organisasi-organisasi militer tercipta, mulai dari FPI (Front Pembela Islam), kemudian FORKABI (Forum Komunikasi Anak Betawi), Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa), itu semuanya kekuasaan itu memobilisasi preman," kata dia.

Jerome Tadie, seorang penulis Prancis yang melakukan penelitian dan survei tentang kekerasan di Jakarta selama kurun 1997-2000 menyingkap peta kekerasan dan premanisme di Jakarta, Dalam bukunya, 'Wilayah Kekerasan di Jakarta', Tadie memaparkan peta penguasaan wilayah oleh kelompok-kelompok preman.

Pola pemanfaatan tenaga preman, berdasarkan pengamatan Tadie pemanfaatan kelompok preman di masa orde baru, yang digalang untuk kepentingan politik rezim yang berkuasa, terus berlangsung hingga kini.

"Mereka dimanfaatkan untuk pengendalian wilayah, serta kepentingan ekonomis, seperti menggusur lahan dan membubarkan aksi pemogokan. Mereka juga digunakan untuk menyelesaikan berbagai perselisihan di lingkungan kampung," tulis Tadie.

Menyangkut peta premanisme, dia membaginya berdasarkan faktor etnik atau kesukuan, di mana terdapat sekitar lima belas etnik yang mengendalikan berbagai wilayah di Jakarta. Antara lain, Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Ambon, dan Papua.

Mereka, tulis Tadie, memiliki spesialisasi dalam melakukan tindak kriminalitas. Ada spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul.

"Dalam penguasaan wilayah, juga terdapat kekhasan tersendiri. Ada yang menguasai terminal, pasar, tempat hiburan, dan pelabuhan. Dari berbagai wilayah yang dikuasai preman, ada lima sektor pengendalian utama, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Kota, pecinan, Tanah Abang, dan Senen."

Peneliti Asian Research Centre dari Universitas Murdoch, Australia, Ian Douglas Wilson dalam bukunya The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive Capital, Authority and Street Politics, menelaah transformasi pola patronase kekuasaan di Tanah Abang selama periode 1997 - 2002.

Wilson menyebut, pemuda-pemuda asal Timor Lorosae yang diorganisir Hercules menjadi penguasa jalanan pada 1990an. Namun, krisis ekonomi pada tahun 1997 memicu ketidaknyamanan dan kebencian terhadap pemerasan oleh "orang luar" ini.

Sebuah organisasi yang dibentuk oleh penduduk asil Betawi di distrik ini, Ikatan Keluarga BesarTanah Abang yang dikepalai oleh Ucu Kambing, mendapat restu dari pemerintah kota pada saat itu yang dipimpin Sutiyoso. Dalam gerakan anti-premannya Gubernur Sutiyoso kerap menggunakan 'pribumi versus lainnya'.

"Kasus Tanah Abang melambangkan transformasi dari aliansi antara administrasi formal dan organisasi preman. Sementara politik lokal menjadi arena kontestasi dari berbagai macam kepentingan politik, maka tidak perlu lagi kepemimpinan organisasi preman mendapatkan dukungan kuat dari otoritas formal agar dapat bertahan dan sejahtera," tulis Wilson dalam bukunya,

Adrianus yang juga kriminolog menambahkan preman merupakan salah satu fenomena yang tidak bisa lepas dari kehidupan metropolitan, khususnya Jakarta. Kebanyakan orang-orang ini adalah kelompok orang yang tidak bisa masuk pada sektor formal lantaran tidak memiliki pendidikan, dan di sisi lain, malas bekerja di sektor informal.

Mereka kemudian mengandalkan kemampuan fisik untuk mendapatkan uang. Apalagi, dengan adanya pertemanan yang umumnya berbasis pada primordial, maka kemudian mereka masuk ke sektor-sektor yang bersifat pemerasan maupun semi-pemerasan.

"Mereka seperti menciptakan keamanan dan kemudian mereka sendiri lah yang menjadi penganggu," jelas Adrianus.

Mereka kemudian masuk ke bidang lain seperti, misalnya sebagai penjaga parkir. Sementara preman yang berpendidikan dan memiliki jaringan luas, kemudian merambah ke bidang bisnis yang bersih.

"Menjadi pengusaha lalu kemudian masuk ke bidang bisnis yang dalam hal ini susah dikatakan bahwa ini adalah dilakukan oleh seorang preman," kata dia.

Lebih jauh, Adrianus mengungkapkan dalam konteks Tanah Abang, premanisme sudah mendarah daging di semua sendi kehidupan pasar. Premanisme, menurutnya, keyakinan bahwa menggunakan cara-cara yang bersifat semi illegal dianggap sebagai hal yang benar dan sah.

Sumber: BBC Indonesia
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved