Konflik Palestina Vs Israel
Algoritma TikTok Bikin Gerah AS, Tagar StandwithPalestine Tembus 3 Miliar, Apa Artinya?
Menurut data dari pusat pembuat TikTok, #StandwithPalestine mencapai hampir 3 miliar tayangan
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Algoritma TikTok Bikin Gerah AS, Tagar StandwithPalestine Tembus 3 Miliar, Alat Propaganda?
TRIBUNNEWS.COM - Tokoh hak asasi manusia, Malcolm X pernah memperingatkan kalau media adalah entitas paling kuat di muka bumi.
"Ia mempunyai kekuasaan untuk membuat orang yang tidak bersalah menjadi bersalah dan membuat orang yang bersalah menjadi tidak bersalah, dan itulah kekuasaan," begitu ujarannya.
Dalam kasus perang Hamas melawan Israel, media -khususnya media sosial- menjadi ranah battlefield yang juga menentukan paradigma publik dunia.
Baca juga: Benarkah Facebook, Instagram, X, YouTube, TikTok Bungkam Unggahan Pro-Palestina di Perang Israel?
Laporan Axios per akhir Oktober 2023 (23-30/10), menunjukkan kalau jumlah penayangan postingan TikTok yang menggunakan tagar #StandwithPalestine secara global mencapai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan postingan yang menggunakan tagar #StandwithIsrael.
Menurut data dari pusat pembuat TikTok, #StandwithPalestine mencapai hampir 3 miliar tayangan saat itu. Data terbaru, unggahan bertagar tersebut sudah menembus angka 3 miliar.

"Mengapa hal ini penting? Data menunjukkan bagaimana perbincangan seputar perang antara Israel dan Hamas terjadi di salah satu platform paling populer bagi kaum muda di dunia," tulis ulasan artikel tersebut.
Detailnya, jumlah penayangan unggahan yang menggunakan tagar #StandwithPalestine telah jauh melampaui postingan yang menggunakan tagar #StandwithIsrael di AS dan luar negeri pada periode akhr Oktober.
Laporan menunjukkan, angka tersebut terus meningkat seiring bombardemen Israel di Gaza yang dilakukan tanpa henti setiap hari hingga Jumat (10/11/2023).
Pada periode akhir Oktober tersebut, secara global, terdapat 210.000 postingan menggunakan tagar #StandwithPalestine dan 17.000 menggunakan tagar #StandwithIsrael sejak 16 Oktober.
"Di AS, ada 8.000 unggahan yang menggunakan tagar #StandwithPalestine dalam dua minggu terakhir dibandingkan dengan 3.000 unggahan yang menggunakan tagar #StandwithIsrael pada waktu itu," tulis laporan tersebut.
Fakta ini membuat Amerika Serikat (AS) gerah.
Beberapa senator di AS seperti Josh Hawley, Marco Rubio, dan Mike Gallagher mendesak agar TikTok dilarang di AS lantaran diduga kuat memuat konten-konten yang mengandung anti-Israel dan anti-Yahudi.
Baca juga: TikTok Dikecam di AS Buntut Dianggap Dorong Generasi Muda Negeri Paman Sam Jadi Pro Hamas
"Meskipun masalah keamanan data adalah hal yang paling penting, yang jarang dibicarakan adalah kekuatan TikTok untuk secara radikal mendistorsi gambaran dunia yang dihadapi generasi muda Amerika."
"Perang Israel dengan Hamas yang sedang berlangsung adalah ujian yang penting," kata Hawley dalam suratnya kepada Menteri Keuangan AS, Janet Yallen dilansir Al Jazeera, Selasa (8/11/2023).
Data dan Sikap TikTok Soal Perang Hamas dan Israel
Menurut data TikTok, tagar #StandwithPalestine paling populer di Malaysia, diikuti oleh Pakistan, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar.
Adapun tagar #StandwithIsrael paling populer di Israel, diikuti oleh Malaysia, Yunani, Lituania, dan Kroasia.
Pihak TikTok sudah menegaskan, tidak mengizinkan konten berbau terorisme di platformnya.
Laporan Axios, mengutip juru bicara TikTok yang dikonfirmasi, menyebut platform tersebut menganggap Hamas sebagai kelompok teroris dan dilarang tayang.
"TikTok menganggap dirinya sebagai platform hiburan dan memilih untuk tidak menjadi tujuan berita dan politik, namun data hashtag menunjukkan percakapan dan advokasi politik global sering terjadi di aplikasi milik Tiongkok tersebut," tulis laporan Axios.
Potensial Jadi Alat Propaganda dan Disusupi Kepentingan Politik
Gambaran besarnya dari sajian data tersebut adalah, meskipun TikTok bukan alat untuk memahami perspektif global seputar perang, hal ini memberikan gambaran unik tentang bagaimana pengguna muda di TikTok berinteraksi dengan postingan tentang konflik tersebut.
Menurut data TikTok, 87 persen penonton untuk postingan #StandwithPalestine berusia di bawah 35 tahun, dibandingkan dengan 66% penonton untuk postingan #StandwithIsrael.
TikTok mengatakan mereka memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif bulanan.
Aplikasi ini dilarang di negara-negara tertentu, termasuk India, yang tahun ini melampaui Tiongkok sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia.
Terlepas dari konten terkait perang, TikTok dikhawatirkan rentan disusupi kepentingan politik apapun.
Nuurrianti Jalli, asisten profesor Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Seni dan Ilmu Pengetahuan Departemen Bahasa, Sastra, dan Ilmu Komunikasi Northern State University memberikan pemahamannya terkait betapa strategisnya TikTok menjadi alat propaganda, khususnya pada negara-negara yang bersiap menggelar pemilihan umum seperti Indonesia.
"Selama bertahun-tahun, penggunaan cybertroopers secara strategis di negara-negara Asia Tenggara sangat menonjol, terutama selama masa pemilu. Para aktor politik berupaya mempengaruhi opini publik melalui Facebook, Twitter, dan YouTube untuk mendorong narasi politik guna menggalang lebih banyak pendukung di wilayah tersebut. Kini, TikTok, sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh di Asia Tenggara, akan menjadi alat strategis baru bagi para propagandis untuk mendorong narasi politik selama masa pemilu," ungkap Jalli dilansir The Conversation dan dimuat di The Jakarta Post.
Menurut dia, TikTok menyediakan fitur unik yang memungkinkan propaganda menjangkau masyarakat lebih luas, karena model berbagi kontennya lebih baru dibandingkan pendahulunya, yang tidak bergantung pada jumlah pengikut namun fokus pada konten itu sendiri.
Fitur yang dimaksud adalah “for your page”. Fitur tersebut dapat dibilang cukup unik karena mereka bisa menjangkau publik lebih luas lagi dengan berbagai konten tanpa fokus dengan jumlah pengikut.
“Artinya, siapa pun yang dapat membuat konten menarik akan membuka pintu peluang untuk mendorong narasi politik dengan membuat konten audio-visual yang menarik,” kata Jalli.
Menurut dia sistem algoritma TikTok 'yang merekomendasikan tayangan', akan mendorong konten serupa kepada pengguna.
Sistem algoritma ini pula yang bisa mengakibatkan munculnya ekstremisme di kalangan pengikut fanatik.
"Model ini dapat menciptakan gelembung informasi yang akan memberikan narasi tertentu kepada pengguna dan memengaruhi pandangan dunia mereka," kata dia.
Propaganda Politik Merajalela di Tiktok
Menurut Jalli TikTok berbeda dari pendahulunya, seperti Facebook, Twitter, dan Google, yang lebih serius untuk memerangi penyalahgunaan platform mereka oleh para propaganda.
TikTok, katanya, cenderung tidak memiliki kebijakan yang ketat.
“TikTok telah dikritik keras oleh para peneliti dan media karena mengizinkan pandangan ekstremisme muncul di platformnya, mereka mendesak pemilik TikTok untuk membuat kebijakan yang lebih baik,” jelas Jalli.
Namun sekarang, TikTok telah membuat panduan komunitas terbarunya untuk menghindari penyalahgunaan platform oleh para individu.
Meski begitu, propaganda politik masih merajalela di platform tersebut.
Para pengguna, bahkan seringkali memotong ucapan tokoh terkenal untuk kepentingan politik. Padahal tokoh tersebut tidak memiliki niat untuk membahas politik sama sekali. Akibatnya, salah paham atau disinformasi seringkali terjadi.
"Fitur 'live' di TikTok telah disalahgunakan untuk menyebarkan narasi politik di beberapa negara, termasuk AS dan Rusia. Berbeda dari konten audio-visual yang diunggah, fitur live menghadirkan tantangan tersendiri karena sifat streaming real-time yang sinkron, yang membuat pemantauan AI kurang efektif dibandingkan manusia dalam moderasi konten," kata dia.
Menurut Jalli, TikTok masih mengandalkan sebagian besar pengawasannya pada sistem internal.
Sementara teknologi Artificial Intelligence (AI) belum secara optimal digunakan dalam mengawasi konten yang diproduksi oleh pengguna aplikasi milik ByteDance tersebut.
Mengutip tulisan di Radius, menurut Jalli, cara terbaik untuk meminimalisir propaganda di sosial media adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan melalui keterlibatan komunitas untuk membantu mengidentifikasi konten yang melanggar aturan.
“Melihat bukti nyata penyalahgunaan sosial media atas nama politik, masyarakat tidak boleh mengabaikan TikTok sebagai ruang terjadinya perang informasi politik,” imbau Jalli.
Jalli memprediksi bahwa tren serupa sangat mungkin terjadi di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya.
Strategi propaganda digital yang sama untuk kampanye disinformasi yang telah terjadi di platform media sosial lainnya termasuk penggunaan terkoordinasi dari pasukan siber, mulai dari influencer berbayar, cybertroopers, bot akan terjadi.
(oln/axios/radius/thejakartapost/*)
Konflik Palestina Vs Israel
Wacana Relokasi Warga Gaza ke RI, Amnesty: Seolah Ingin Dukung Pendudukan Ilegal Israel di Palestina |
---|
Israel Bunuh 5 Jurnalis Al Jazeera, Arab Saudi, UEA, dan Qatar Meradang |
---|
Daftar Negara yang Akan dan Telah Akui Negara Palestina, Terbaru Australia |
---|
Israel Akui Bunuh 5 Jurnalis Al Jazeera, Klaim Salah Satunya adalah Anggota Brigade Al-Qassam |
---|
"Jika Pesan Ini Sampai ke Anda, Israel Berhasil Bunuh Saya", Kata-kata Terakhir Jurnalis Al Jazeera |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.