Cerita WNI korban sindikat perdagangan orang di Myanmar diduga 'disekap, disiksa dan dimintai tebusan ratusan juta Rupiah' - Mengapa berulang dan bagaimana upaya membebaskannya?
Seorang WNI berinisial SA diduga 'disekap, disiksa dan dimintai tebusan uang ratusan juta Rupiah' oleh sindikat penipuan di Myanmar.…
“Jadi gaji sebulan itu bisa habis. Kayaknya denda-denda itu cuma alasan perusahaan saja untuk enggak menggaji.”
R berpamitan kepada keluarganya untuk bekerja di Thailand pada 12 Juni. Kala itu, dia diiming-imingi bekerja di perusahaan cryptocurrency dengan gaji
Wulan mengaku penyekap adiknya terakhir meminta Rp50 juta sebagai “tebusan” kepulangan adiknya. Sampai kini, keluarga R belum menyanggupi karena tidak ada jaminan sama sekali uang itu akan memuluskan kepulangan adik merea.
“Saya mendapat informasi dari korban yang tahun kemarin. Takutnya sama seperti mereka, adik saya malah dijual ke perusahaan lain [setelah uang tebusan dikirim].”
Seberapa kompleksnya kasus TPPO Myanmar ini yang membuatnya terus berulang di mata Kemenlu?
Dirjen Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, menekankan Myawaddy dikuasai pihak pemberontak. Selain itu, otoritas Myanmar memiliki akses yang terbatas terhadap wilayah Myawaddy.
Di sisi lain, dia menyoroti “pengulangan” kasus-kasus WNI menjadi korban penipuan daring.
“Kami perlu highlight di sini bahwa sejak tahun 2020 hingga 2024, lebih dari 3.700 kasus online scam sudah kita tangani. Kemudian kita fasilitasi kepulangannya ke Indonesia,” ujarnya.
“Namun kami mencatat, beberapa di antara mereka yang berangkat kembali ke luar negeri. Dan kemudian bekerja di jenis perusahaan yang sama. Ini kan berarti ada question mark di sini. Apakah mereka korban ataukah bukan?”
Judha menyebut pemerintah sudah berupaya melakukan penjangkauan dan edukasi publik terutama di beberapa daerah yang warganya rentan menjadi korban penipuan daring seperti di Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
“Kesadaran masyarakat ini perlu kita tingkatkan. Pertama, waspada terhadap tawaran bekerja keluar negeri yang dilakukan di berbagai macam platform sosial media,” ujarnya.
Judha menghimbau masyarakat untuk kritis apabila menemukan tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi tetapi tidak meminta kualifikasi khusus. Apalagi, sambung dia, berangkat ke luar negeri untuk bekerja tanpa mendapatkan visa khusus bekerja.
“Seperti kasus SA ini. Dalam laporan yang kami terima ditawari gaji US$10.000. Ini kan fantastis?” ujarnya.
Di sisi lain, Judha mengakui Kemenlu melihat adanya “moral hazard” dalam kasus penipuan daring di mana ada pula ditemukan kasus yang mengaku sebagai korban TPPO padahal mereka sudah menyadari jenis pekerjaan yang mereka lakukan.
“Namun karena mereka memahami bahwa ketika mengaku sebagai korban TPPO, tentu sesuai dengan Undang-Undang 21 tahun 2007, kan beban penanganan ditanggung oleh negara,” ujar Judha.
“Nah ini kami melihat ada beberapa indikasi moral hazard di kalangan masyarakat yang playing victim sebagai korban TPPO, namun setelah didalami ternyata tidak memenuhi unsur-unsur korban TPPO.
Judha mengatakan Kementerian Luar Negeri memiliki panduan bagi teman-teman perwakilan diplomatik Indonesia untuk bisa mengidentifikasi mana yang korban dan mana yang bukan.
Apa saja tantangan dalam penanganan kasus TPPO Myanmar di mata para pengamat?
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan salah satu tantangan KBRI Yangon dalam penanganan kasus perdagangan orang adalah keterbatasan staf di sana.
Posisi Myanmar sebagai negara konflik juga memperumit hal ini.
“KBRI tentu mencoba membantu tapi jumlahnya banyak sementara staf sangat terbatas. Jadi repot sekali,” ujarnya ketika dihubungi pada Selasa (13/08)
“Minta kerjasama dengan otoritas lokal juga sulit karena penegakan hukum lemah.”
Sementara itu, Annisa Dina Amalia, dosen hubungan internasional Universitas Tanjungpura di Pontianak dengan fokus studi migrasi dan tengah melakukan riset korban-korban TPPO dari Kalimantan Barat, mengatakan, banyak korban tertipu setelah termakan iklan di jejaring media sosial yang menawarkan pekerjaan di luar negeri.
“Kemudian ketika kerja di sana, ada juga yang tugasnya mengiklankan kembali untuk menjerat calon-calon korban lebih banyak lagi.”
Dari hasil penelitiannya, kasus eksploitasi orang ini semakin mencuat setelah pandemi COVID-19 di mana banyak orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjadi “sasaran empuk”.
“Ini seiring juga dengan munculnya online scam centers atau pusat-pusat perjudian, yang tadinya berpusat di China, kemudian membuka pusat-pusat baru di negara-negara Asia Tenggara seperti Myanmar, Vietnam, Cambodia dan lain sebagainya seperti Laos juga,” ujar Annisa.
Di Kalimantan Barat, misalnya, Annisa melihat faktor-faktor yang saling berkelindan terutama faktor ekonomi yang membuat provinsi tersebut menjadi salah satu pusat transit pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang kemudian terjerat kasus penipuan daring.
Selain itu, Annisa juga menemukan bahwa tidak semua dari WNI yang bekerja di pusat-pusat penipuan atau judi online mengalami eksploitasi. Terdapat pula beberapa kasus di mana mereka bekerja secara normal melalui “proses pengiriman yang betul”.
‘Walaupun mereka tetap bekerja di fasilitas judi online tetapi mereka mendapatkan upah yang layak. Bahkan bisa mengirimkan sejumlah gajinya kepada keluarganya di Pontianak, di Kalimantan Barat. Dan jumlahnya itu cukup besar. Sehingga kemudian ketika mereka pulang, keluarganya menyuruh atau meminta mereka untuk kembali lagi bekerja,” ujar Annisa.
Sama seperti Hikmahanto, Annisa juga mengatakan ada ketegangan hubungan diplomatik mengingat Myanmar saat ini dikuasai pemerintahan militer yang membuat Kemenlu kesulitan untuk “masuk” ke wilayah tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.