Indonesia Dikabarkan Mau Borong 42 Unit Jet J-10C China, Apa Kehebatan 'Si Naga Perkasa'?
Niat pembelian puluhan jet tempur Chengdu J-10 China ini menandakan pergeseran kiblat Indonesia dari selama ini ke AS ke China.
Armada Indonesia yang ada saat ini sangat bergantung pada ekosistem pesawat buatan Amerika Serikat (AS) dan Rusia, ini berarti infrastruktur baru, simulator, dan rantai pasokan khusus perlu dibuat untuk mendukung sistem buatan China.
Langkah ini dapat meningkatkan biaya operasi jangka panjang hingga 20 hingga 30 persen dibandingkan dengan sistem yang kompatibel dengan NATO.
Selain itu, tantangan integrasi antara avionik China dan sistem kendali Barat akan memerlukan penyetelan ulang menyeluruh pada tautan data dan sistem perencanaan misi.
Pelatihan ulang pilot dan teknisi pemeliharaan juga dapat menunda periode penempatan awal, terutama jika Indonesia berencana untuk melokalisasi pekerjaan pemeliharaan dan manufaktur suku cadang.
Namun, perencana pertahanan Indonesia bersikeras bahwa kekhawatiran ini ditangani secara komprehensif melalui studi kelayakan dan negosiasi teknis bilateral dengan Beijing.
Dampak Geopolitik Jika Indonesia Beli J-10C
Kemungkinan akuisisi jet tempur buatan China membawa implikasi geopolitik yang mendalam.
Indonesia telah lama menganut kebijakan luar negeri yang "bebas dan aktif", menjaga jarak yang seimbang antara kekuatan dunia untuk melindungi kebebasannya dalam membuat keputusan sendiri.
Langkah untuk memperoleh J-10C akan memperdalam hubungan pertahanan dengan Beijing pada saat persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik meningkat.
Tindakan ini diperkirakan akan menimbulkan kekhawatiran di Washington dan Canberra, yang menganggap Indonesia sebagai mitra maritim penting dalam menjaga stabilitas regional dan mengendalikan jalur laut strategis.
Selain itu, ada kemungkinan sanksi AS berdasarkan undang-undang CAATSA, yang dirancang untuk menghukum negara-negara yang membeli aset militer utama dari pesaing Washington.
Namun, Jakarta telah membuktikan kemampuannya untuk menyeimbangkan tekanan geopolitik, melalui portofolio pengadaan yang seimbang yang melibatkan Rafale Prancis, F-15EX Amerika dan sekarang potensi J-10C Cina, sementara juga berfungsi sebagai strategi diplomatik untuk menghindari ketergantungan tunggal pada satu kekuatan besar.
Pendekatan ini sejalan dengan citra Indonesia sebagai "Negara Poros Maritim Dunia", yang memelihara dialog dengan semua kekuatan besar tanpa terikat oleh aliansi militer formal apa pun.

Game Changer di Asia Tenggara
Jika akuisisi J-10C dirampungkan, Indonesia akan menjadi negara ASEAN pertama yang mengoperasikan pesawat tempur generasi keempat buatan China — sebuah pencapaian bersejarah yang dapat mengubah persepsi kekuatan udara regional.
Bagi Beijing, keberhasilan menembus pasar Indonesia akan menjadi kemenangan strategis yang besar, menandai penetrasi teknologi pertahanan Tiongkok ke pasar yang selama ini didominasi oleh Barat.
Bagi Jakarta, keputusan itu akan mengirimkan pesan yang jelas bahwa Indonesia menentukan arah pertahanannya berdasarkan kepentingan nasional, bukan tekanan politik eksternal.
Langkah ini juga akan memperkuat kemampuan TNI-AU melalui kemampuan serangan jarak jauh di luar jangkauan visual (BVR), patroli maritim efisiensi tinggi, dan tindakan penanggulangan perang elektronik modern — faktor-faktor penting dalam setiap konflik di masa mendatang di Laut Cina Selatan atau di sepanjang rute maritim strategis negara kepulauan tersebut.
Namun, beberapa mitra ASEAN seperti Vietnam dan Filipina, yang waspada terhadap pengaruh militer China, mungkin memandang keputusan Indonesia sebagai sinyal keberpihakan terhadap Beijing, yang semakin memperumit kepercayaan keamanan regional.
Inilah tali tegang diplomatik yang mesti diseimbangkan Jakarta — memproyeksikan independensi militernya sembari meredakan kekhawatiran mitra regionalnya mengenai sikap netralnya.

Opsi Jet Tempur Lain Masih Terbuka
Mempertimbangkan untuk membeli J-10C, bukan berarti Indonesia tidak berhitung pada pilihan lain jet tempur yang tersedia di pasaran dunia.
Negosiasi dengan Amerika Serikat untuk pembelian F-15EX Eagle II masih berlangsung, menawarkan kapasitas muatan dan kemampuan logistik yang terbukti, meskipun dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Pesawat Rafale, yang 42 unitnya telah dipesan, tetap menjadi tulang punggung strategi modernisasi TNI-AU, menawarkan platform multiperan yang mampu melakukan serangan jarak jauh dan peperangan elektronik.
Pada saat yang sama, kerja sama jangka panjang Indonesia dengan Korea Selatan pada program pesawat terbang KF-21 Boramae membuka peluang bagi pengembangan bersama, alih teknologi, dan partisipasi industri lokal — sejalan dengan kebijakan kemandirian pertahanan (defense self-reliance) negara tersebut.
Setiap pilihan membawa pertimbangan antara biaya, kemampuan, dan ketergantungan strategis, dan J-10C sekarang berdiri tepat di persimpangan ketiga faktor utama tersebut.
China Tawarkan Kerja Sama Industri Militer
Di luar aspek militer, Jakarta juga menilai manfaat industri yang dapat diperoleh dari setiap perjanjian pengadaan.
China dilaporkan telah menawarkan kerja sama dalam pemasangan sebagian dan pekerjaan pemeliharaan di fasilitas kedirgantaraan milik pemerintah Indonesia, sebuah langkah yang berpotensi mempercepat pengembangan industri pertahanan dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja lokal.
Upaya ini sejalan dengan aspirasi pemerintah untuk memperluas peran PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dari sekedar produksi berlisensi menjadi pemeliharaan penuh dan integrasi komponen-komponen utama.
Dengan mengikat pengadaan pada kerangka kerja transfer teknologi, Indonesia berharap bahwa program pesawat tempur masa depan — termasuk konsep generasi keenam — dapat didukung secara lokal tanpa terus bergantung pada pemasok asing.
Bagi China, perjanjian semacam itu tidak hanya akan meningkatkan nilai kesepakatan tetapi juga memperkuat kehadiran strategis jangka panjangnya di Asia Tenggara.
Kendala yang Dihadapi Indonesia Soal Jet J-10C
Meskipun optimismenya tinggi, masih ada beberapa ketidakpastian besar yang harus dihadapi.
Kendala fiskal nasional, fluktuasi nilai tukar mata uang, dan inflasi global dapat menyulitkan pembiayaan akuisisi skala besar dalam waktu dekat.
Selain itu, perdebatan internal terus terjadi di kalangan elite pertahanan Indonesia mengenai masalah kompatibilitas sistem, persepsi politik internasional, dan biaya pemeliharaan jangka panjang.
Beberapa pejabat senior dilaporkan mendukung penguatan lebih lanjut pembelian Rafale dan F-15EX untuk menjaga kompatibilitas dengan sekutu Barat dan mengurangi gangguan pelatihan.
Namun, ada pula kelompok lain yang meyakini kalau mengadaptasi teknologi China merupakan langkah strategis yang lebih hemat biaya dan memperkuat posisi tawar Indonesia di arena geopolitik.
Pada akhirnya, keputusan akhir akan bergantung pada kombinasi kemampuan, biaya, dan dampak geopolitik, bukan hanya logika pengadaan saja.
"Jika Indonesia meneruskan rencana ini, Indonesia melangkah maju dengan kesadaran penuh bahwa keputusan ini akan membentuk masa depan kekuatan udara Asia Tenggara selama beberapa dekade mendatang," kata laporan DSA.
Indonesia telah mengakuisisi 42 jet tempur Rafale buatan Prancis sebagai bagian dari rencana modernisasi jangka panjang Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), dengan pesawat generasi 4,5 yang diharapkan menjadi andalan kemampuan udara negara ini melalui keunggulannya dalam misi serangan jarak jauh, peperangan elektronik, dan dominasi wilayah udara regional.

Kekuatan Baru Indo-Pasifik
Minat Indonesia terhadap J-10C mencerminkan fakta bahwa kawasan Indo-Pasifik kini berada dalam era baru di mana otonomi strategis mengalahkan loyalitas aliansi sebagai dasar keputusan pertahanan nasional.
Proses penilaian TNI-AU mencerminkan perubahan ini — tindakan penyeimbangan yang cermat antara kemampuan, biaya, dan kebebasan diplomatik.
Jika akuisisi ini menjadi kenyataan, J-10C akan menjadi jet tempur buatan China pertama yang bertugas di Indonesia, menandai diversifikasi strategis bersejarah yang akan bergema dari Kuala Lumpur hingga Canberra.
Langkah ini juga menunjukkan bahwa masa depan kekuatan udara Asia Tenggara tidak lagi ditentukan oleh cetakan Perang Dingin, tetapi oleh kepentingan nasional dan realitas ancaman saat ini.
"Saat Jakarta terus mempertimbangkan pilihannya, satu hal yang pasti — keputusan ini akan menentukan tidak hanya strategi pertahanan udara Indonesia selama beberapa dekade mendatang, tetapi juga peta kekuatan baru Indo-Pasifik," kata laporan itu.
Apakah "Vigorous Dragon" akan berkibar di bawah bendera merah-putih masih belum pasti, tetapi bayangannya sudah membayangi langit Asia Tenggara.
Jokowi Temui Prabowo 2 Jam, Pengamat: Bahas Dukungan 2 Periode, Minta Gibran Diberi Tugas |
![]() |
---|
5 Tragedi Bangunan Ambruk di Indonesia 2020-2025, Terbaru Ponpes Al Khoziny |
![]() |
---|
Daftar Pemenang Nobel 2025: 6 Nama Telah Diumumkan untuk Bidang Fisiologi atau Kedokteran dan Fisika |
![]() |
---|
Terjemahan Lirik Lagu Obvious - Blink 182: I Saw You Again, I Think You Used Me Again |
![]() |
---|
Israel Peringati Dua Tahun Perang Gaza: Rakyat Mulai Lelah, Tuntut Pemerintah Segera Akhiri Konflik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.