Indonesia Dikabarkan Mau Borong 42 Unit Jet J-10C China, Apa Kehebatan 'Si Naga Perkasa'?
Niat pembelian puluhan jet tempur Chengdu J-10 China ini menandakan pergeseran kiblat Indonesia dari selama ini ke AS ke China.
Indonesia Dikabarkan Mau Borong 42 Unit Jet J-10C China, Apa Kehebatan 'Si Naga Perkasa'?
TRIBUNNEWS.COM - Indonesia dikabarkan kembali tertarik untuk membeli jet tempur buatan China, Chengdu J-10C "Vigorous Dragon".
Situs militer dan pertahanan Asia, DSA, dikutip Selasa (7/10/2025) melaporkan, minat Indonesia ini dengan memperhitungkan kemungkinan perubahan arah jangka panjang strategi pertahanan udara nasional.
Baca juga: Profil dan Spesifikasi Jet Tempur China J-10, Diincar Indonesia, Pernah Jatuhkan Rafale AU India
"Dalam sebuah langkah yang berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan udara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sekali lagi menghidupkan kembali minatnya memiliki Chengdu J-10C," tulis laporan itu, dikutip Selasa (10/7/2025).
"Perkembangan ini, yang muncul dari penilaian terperinci oleh Kementerian Pertahanan Indonesia, menggambarkan pendekatan pragmatis Indonesia untuk memodernisasi angkatan udaranya di tengah meningkatnya persaingan regional, meningkatnya tekanan operasional, dan perubahan lanskap ekosistem pertahanan global," papar ulasan tersebut.
Laporan DSA menambahkan, jika pembelian jet ini terealisasi, maka hal itu tidak hanya akan menjadi perubahan besar dalam kebijakan pengadaan militer Indonesia.
"Namun juga (jika benar membeli J-10C) akan menjadi pernyataan simbolis kalau negara dengan populasi terbesar keempat di dunia tersebut siap untuk menjauh dari ketergantungan pada pemasok lama (negara Barat) untuk melindungi otonomi strategisnya sendiri," kata ulasan tersebut.
Trisula Perisai Nusantara dan Modernisasi Armada Udara
Laporan menyebut, inti dari minat Indonesia mengakuisisi J-10C ini terletak pada visi jangka panjang Presiden Prabowo Subianto melalui doktrin Trisula Perisai Nusantara .
"Doktrin tersebut bertujuan untuk menyatukan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Indonesia di bawah kerangka pertahanan terpadu berbasis jaringan digital untuk menghadapi berbagai ancaman multidimensi — mulai dari agresi teritorial di Laut Natuna hingga proyeksi kekuatan di kawasan Indo-Pasifik yang lebih luas," kata laporan itu.
Bagi Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), visi tersebut diterjemahkan ke dalam upaya mengganti armada yang menua dan terfragmentasi — termasuk F-16 buatan AS, Su-27/Su-30 Flanker Rusia, dan British Aerospace Hawk — dengan pesawat tempur multiperan modern yang mampu melakukan dominasi udara dan misi serangan jarak jauh.
Laporan DSA menyebut, J-10C muncul menjadi opsi ideal modernisasi armada tempur udara karena selain punya kemampuan yang andal juga punya harga yang relatif terjangkau kocek anggaran.
"J-10C, dengan kombinasi biaya yang lebih ekonomis, kelincahan tinggi, dan catatan operasional yang terbukti, muncul sebagai kandidat yang mampu memenuhi persyaratan ini sambil tetap menjaga disiplin keuangan dalam hal anggaran pertahanan negara," tulis laporan tersebut.
Laporan juga mengutip pernyataan dari Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang, juru bicara Kementerian Pertahanan Indonesia.
“TNI AU saat ini sedang mengevaluasi J-10C, karena kami bermaksud memilih hanya platform terbaik untuk menjadi alutsista utama negara dalam menerapkan kebijakan pertahanan saat ini,” Kata Wenas dikutip dari DSA.
Pernyataan tersebut mencerminkan pendekatan hati-hati dan berprinsip yang merupakan inti dari filosofi pengadaan militer Indonesia — yaitu, keseimbangan antara biaya, kemampuan, dan kedaulatan.
Laporan menambahkan, Indonesia sedang berhitung untuk memborong sebanyak 42 jet tempur Jet J-10C.
"Perhitungan yang sedang dilakukan oleh Jakarta dilaporkan mencakup potensi akuisisi 42 jet tempur Chengdu J-10C “Vigorous Dragon”, sejumlah jet yang dipilih secara strategis untuk melengkapi setidaknya dua skuadron tempur penuh dalam kerangka modernisasi jangka panjang Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU)," kata laporan itu.

Apa Hebatnya J-10C "Si Naga Perkasa" Buatan China?
Dikembangkan oleh Chengdu Aerospace Corporation, J-10C merupakan puncak evolusi pesawat tempur generasi keempat Tiongkok dan berfungsi sebagai jembatan teknologi penting menuju generasi kelima.
Pesawat dengan julukan “Vigorous Dragon" alias "Si Naga Perkasa" ini dilengkapi dengan radar Active Electronically Scanned Array (AESA), sistem kendali penerbangan fly-by-wire digital, badan pesawat komposit canggih, dan material penyerap gelombang radar (RAM) yang menyediakan sebagian tembus pandang.
Dengan kecepatan maksimum Mach 1,8, jangkauan operasi 18.000 meter, dan radius tempur lebih dari 1.100 kilometer, J-10C mampu melaksanakan misi pertempuran udara intensif serta serangan jarak jauh dengan efisiensi tinggi.
Ia juga membawa rudal udara-ke-udara jarak jauh PL-15 yang menggunakan penggerak roket pulsa ganda dan sistem pemandu radar AESA aktif, yang menyediakan jangkauan lebih dari 200 kilometer, yang memungkinkan pilot untuk menyerang target musuh sebelum mereka memasuki perimeter pertahanan mereka.
Selain itu, pesawat ini mampu membawa bom berpemandu presisi, rudal antikapal, dan bom berpemandu laser, sembari terintegrasi sepenuhnya dengan doktrin peperangan berpusat pada jaringan yang berkembang pesat di China.
Dengan kombinasi kemampuan tinggi dan efektivitas biaya — sekitar US$ 40 juta (sekitar Rp 663,7 M) hingga US$ 50 juta (Rp 829,7 M) per unit — J-10C muncul sebagai alternatif ampuh bagi pesawat Barat yang jauh lebih mahal seperti Rafale atau F-15EX.
Didukung oleh mesin turbofan WS-10B Taihang yang dikembangkan secara lokal, J-10C menghasilkan daya dorong lebih dari 13 ton, memungkinkan rasio dorong-berat yang luar biasa dan kinerja supersonik berkelanjutan tanpa memerlukan afterburner dalam mode penerbangan tertentu — suatu kemampuan yang meningkatkan kemampuan bertahan hidup dan kemampuan bertahan hidup dalam pertempuran.
Kokpit kaca J-10C dilengkapi dengan tiga layar warna multifungsi, tampilan head-up holografik (HUD) yang lebar, dan sistem bidikan yang dipasang di helm (HMS) yang terintegrasi dengan rudal jarak pendek PL-10, yang memungkinkan penguncian target secara instan dan kemampuan menembak sudut yang luar biasa selama pertempuran jarak dekat.
Pesawat ini juga dilengkapi dengan sistem peperangan elektronik (EW) terintegrasi yang mencakup penerima peringatan radar digital, pod pengacau aktif, dan sistem penangkal lempar, yang meningkatkan ketahanannya terhadap ancaman rudal udara-ke-udara dan permukaan-ke-udara modern, terutama di lingkungan elektromagnetik yang intens.
Melengkapi kemampuan ini adalah kompatibilitas tautan data dengan pesawat peringatan dini dan kendali udara (AEW&C) KJ-500, yang memungkinkan pembagian target secara real-time, serangan gabungan, dan komando di luar garis pandang — di antara ciri-ciri utama doktrin pertempuran udara "sistem-dalam-sistem" baru Tiongkok.
Secara keseluruhan, fitur-fitur ini mengangkat J-10C sebagai pesawat generasi 4,5 sejati, menggabungkan kelincahan aerodinamis, kesadaran situasional, dan kemampuan serangan jarak jauh yang menutup kesenjangan dengan pesawat generasi kelima — sambil mempertahankan keunggulan harga kompetitif yang terus menarik minat dari berbagai negara berkembang.
Mengapa Indonesia Tertarik Beli Jet J-10C?
"Bagi Jakarta, J-10C menawarkan kombinasi langka antara kemampuan, biaya, dan fleksibilitas operasional — elemen penting untuk mempertahankan postur pencegahan yang kredibel bagi negara kepulauan terbesar di dunia," kata laporan DSA.
Tantangan modernisasi Angkatan Udara Indonesia sangat besar.
TNI AU harus melindungi lebih dari 17.000 pulau dan memantau 1,9 juta kilometer persegi wilayah udara, sementara menghadapi anggaran pertahanan yang terbatas dan kebijakan luar negeri yang netral.
Konfigurasi multiperan J-10C memungkinkan TNI-AU untuk melakukan misi intersepsi, serangan darat dan patroli maritim dari pangkalan yang tersebar — penting selama konflik di mana penempatan ulang yang cepat sangat penting.
Radarnya yang menggunakan teknologi AESA dan kemampuan fusi sensor menawarkan lompatan teknologi yang signifikan dibandingkan pesawat Indonesia yang lebih tua, yang memungkinkan pelacakan simultan beberapa target udara dan permukaan bahkan di bawah gangguan elektronik musuh.
"Yang lebih penting, kebebasan operasional J-10C — tidak terikat oleh kontrol ekspor yang ketat seperti sistem Barat — memberi Indonesia fleksibilitas penuh dalam perencanaan misi dan integrasi senjata," kata laporan itu.
Bagi angkatan udara yang menekankan otonomi dan kelincahan strategis, keunggulan tersebut membawa nilai strategis yang jauh melampaui harga pesawat itu sendiri.
Nama Besar Pakistan J-10C
Sejak penugasan resminya oleh Angkatan Udara Pakistan (PAF) pada tahun 2022, J-10C telah menonjol di antara analis militer Asia sebagai platform tempur baru dengan potensi besar.
Dilaporkan kalau PAF telah berhasil mengintegrasikan J-10C ke dalam skuadron garis depan mereka bersama JF-17 Block III, membentuk lapisan pertahanan udara yang kuat dan saling melengkapi.
Keberhasilan yang dilaporkan dalam latihan tempur ketinggian tinggi yang melibatkan simulasi pertempuran dengan pesawat Rafale — termasuk penggunaan rudal jarak jauh PL-15 — telah meningkatkan reputasi tempur pesawat tersebut dan menarik minat dari berbagai negara berkembang.
Bagi Indonesia, pengalaman tempur tersebut menjadi bukti nyata bahwa J-10C mampu beroperasi secara efektif dalam kondisi cuaca, geografis, dan misi taktis yang sangat mirip dengan lingkungan Asia Tenggara.
"Catatan operasionalnya memberi Jakarta keyakinan besar, terutama jika dibandingkan dengan pilihan lain yang masih dalam tahap pengembangan seperti KAAN milik Turki atau KF-21 Boramae milik Korea Selatan," kata laporan itu.
Dalam Operasi Sindoor pada awal tahun 2025, Angkatan Udara Pakistan (PAF) dilaporkan menunjukkan kemampuan tempur sesungguhnya dari pesawat J-10C ketika pilotnya berhasil menembak jatuh beberapa pesawat Angkatan Udara India, termasuk Rafale, Su-30MKI dan Mirage 2000, dalam pertempuran udara lintas perbatasan yang intens.
Dilengkapi dengan rudal udara-ke-udara jarak jauh di luar jangkauan visual (BVRAAM) PL-15, pesawat J-10C berhasil menembak dari jarak lebih dari 150 kilometer, yang menandai penggunaan operasional nyata pertama rudal tersebut di medan perang sesungguhnya.
Pertempuran itu dilaporkan terjadi di lingkungan peperangan elektronik yang sangat padat, di mana radar AESA J-10C dan kesadaran situasional yang terhubung dengan data memungkinkan pilot Pakistan untuk mengakali dan mengalahkan lawan India mereka sebelum memasuki jangkauan visual.
Keberhasilan luar biasa ini tidak hanya menegaskan efektivitas integrasi sistem rudal dan radar generasi baru China, tetapi juga memperkuat reputasi J-10C sebagai salah satu jet tempur generasi 4,5 paling berbahaya yang saat ini beroperasi di wilayah udara Indo-Pasifik.
Biaya Operasional TInggi
Meskipun J-10C memiliki keunggulan biaya per unit yang lebih rendah, biaya pemeliharaan pesawat yang mencakup pemeliharaan, pelatihan, dan integrasi sistem dapat membengkak jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Armada Indonesia yang ada saat ini sangat bergantung pada ekosistem pesawat buatan Amerika Serikat (AS) dan Rusia, ini berarti infrastruktur baru, simulator, dan rantai pasokan khusus perlu dibuat untuk mendukung sistem buatan China.
Langkah ini dapat meningkatkan biaya operasi jangka panjang hingga 20 hingga 30 persen dibandingkan dengan sistem yang kompatibel dengan NATO.
Selain itu, tantangan integrasi antara avionik China dan sistem kendali Barat akan memerlukan penyetelan ulang menyeluruh pada tautan data dan sistem perencanaan misi.
Pelatihan ulang pilot dan teknisi pemeliharaan juga dapat menunda periode penempatan awal, terutama jika Indonesia berencana untuk melokalisasi pekerjaan pemeliharaan dan manufaktur suku cadang.
Namun, perencana pertahanan Indonesia bersikeras bahwa kekhawatiran ini ditangani secara komprehensif melalui studi kelayakan dan negosiasi teknis bilateral dengan Beijing.
Dampak Geopolitik Jika Indonesia Beli J-10C
Kemungkinan akuisisi jet tempur buatan China membawa implikasi geopolitik yang mendalam.
Indonesia telah lama menganut kebijakan luar negeri yang "bebas dan aktif", menjaga jarak yang seimbang antara kekuatan dunia untuk melindungi kebebasannya dalam membuat keputusan sendiri.
Langkah untuk memperoleh J-10C akan memperdalam hubungan pertahanan dengan Beijing pada saat persaingan strategis antara Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik meningkat.
Tindakan ini diperkirakan akan menimbulkan kekhawatiran di Washington dan Canberra, yang menganggap Indonesia sebagai mitra maritim penting dalam menjaga stabilitas regional dan mengendalikan jalur laut strategis.
Selain itu, ada kemungkinan sanksi AS berdasarkan undang-undang CAATSA, yang dirancang untuk menghukum negara-negara yang membeli aset militer utama dari pesaing Washington.
Namun, Jakarta telah membuktikan kemampuannya untuk menyeimbangkan tekanan geopolitik, melalui portofolio pengadaan yang seimbang yang melibatkan Rafale Prancis, F-15EX Amerika dan sekarang potensi J-10C Cina, sementara juga berfungsi sebagai strategi diplomatik untuk menghindari ketergantungan tunggal pada satu kekuatan besar.
Pendekatan ini sejalan dengan citra Indonesia sebagai "Negara Poros Maritim Dunia", yang memelihara dialog dengan semua kekuatan besar tanpa terikat oleh aliansi militer formal apa pun.

Game Changer di Asia Tenggara
Jika akuisisi J-10C dirampungkan, Indonesia akan menjadi negara ASEAN pertama yang mengoperasikan pesawat tempur generasi keempat buatan China — sebuah pencapaian bersejarah yang dapat mengubah persepsi kekuatan udara regional.
Bagi Beijing, keberhasilan menembus pasar Indonesia akan menjadi kemenangan strategis yang besar, menandai penetrasi teknologi pertahanan Tiongkok ke pasar yang selama ini didominasi oleh Barat.
Bagi Jakarta, keputusan itu akan mengirimkan pesan yang jelas bahwa Indonesia menentukan arah pertahanannya berdasarkan kepentingan nasional, bukan tekanan politik eksternal.
Langkah ini juga akan memperkuat kemampuan TNI-AU melalui kemampuan serangan jarak jauh di luar jangkauan visual (BVR), patroli maritim efisiensi tinggi, dan tindakan penanggulangan perang elektronik modern — faktor-faktor penting dalam setiap konflik di masa mendatang di Laut Cina Selatan atau di sepanjang rute maritim strategis negara kepulauan tersebut.
Namun, beberapa mitra ASEAN seperti Vietnam dan Filipina, yang waspada terhadap pengaruh militer China, mungkin memandang keputusan Indonesia sebagai sinyal keberpihakan terhadap Beijing, yang semakin memperumit kepercayaan keamanan regional.
Inilah tali tegang diplomatik yang mesti diseimbangkan Jakarta — memproyeksikan independensi militernya sembari meredakan kekhawatiran mitra regionalnya mengenai sikap netralnya.

Opsi Jet Tempur Lain Masih Terbuka
Mempertimbangkan untuk membeli J-10C, bukan berarti Indonesia tidak berhitung pada pilihan lain jet tempur yang tersedia di pasaran dunia.
Negosiasi dengan Amerika Serikat untuk pembelian F-15EX Eagle II masih berlangsung, menawarkan kapasitas muatan dan kemampuan logistik yang terbukti, meskipun dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Pesawat Rafale, yang 42 unitnya telah dipesan, tetap menjadi tulang punggung strategi modernisasi TNI-AU, menawarkan platform multiperan yang mampu melakukan serangan jarak jauh dan peperangan elektronik.
Pada saat yang sama, kerja sama jangka panjang Indonesia dengan Korea Selatan pada program pesawat terbang KF-21 Boramae membuka peluang bagi pengembangan bersama, alih teknologi, dan partisipasi industri lokal — sejalan dengan kebijakan kemandirian pertahanan (defense self-reliance) negara tersebut.
Setiap pilihan membawa pertimbangan antara biaya, kemampuan, dan ketergantungan strategis, dan J-10C sekarang berdiri tepat di persimpangan ketiga faktor utama tersebut.
China Tawarkan Kerja Sama Industri Militer
Di luar aspek militer, Jakarta juga menilai manfaat industri yang dapat diperoleh dari setiap perjanjian pengadaan.
China dilaporkan telah menawarkan kerja sama dalam pemasangan sebagian dan pekerjaan pemeliharaan di fasilitas kedirgantaraan milik pemerintah Indonesia, sebuah langkah yang berpotensi mempercepat pengembangan industri pertahanan dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja lokal.
Upaya ini sejalan dengan aspirasi pemerintah untuk memperluas peran PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dari sekedar produksi berlisensi menjadi pemeliharaan penuh dan integrasi komponen-komponen utama.
Dengan mengikat pengadaan pada kerangka kerja transfer teknologi, Indonesia berharap bahwa program pesawat tempur masa depan — termasuk konsep generasi keenam — dapat didukung secara lokal tanpa terus bergantung pada pemasok asing.
Bagi China, perjanjian semacam itu tidak hanya akan meningkatkan nilai kesepakatan tetapi juga memperkuat kehadiran strategis jangka panjangnya di Asia Tenggara.
Kendala yang Dihadapi Indonesia Soal Jet J-10C
Meskipun optimismenya tinggi, masih ada beberapa ketidakpastian besar yang harus dihadapi.
Kendala fiskal nasional, fluktuasi nilai tukar mata uang, dan inflasi global dapat menyulitkan pembiayaan akuisisi skala besar dalam waktu dekat.
Selain itu, perdebatan internal terus terjadi di kalangan elite pertahanan Indonesia mengenai masalah kompatibilitas sistem, persepsi politik internasional, dan biaya pemeliharaan jangka panjang.
Beberapa pejabat senior dilaporkan mendukung penguatan lebih lanjut pembelian Rafale dan F-15EX untuk menjaga kompatibilitas dengan sekutu Barat dan mengurangi gangguan pelatihan.
Namun, ada pula kelompok lain yang meyakini kalau mengadaptasi teknologi China merupakan langkah strategis yang lebih hemat biaya dan memperkuat posisi tawar Indonesia di arena geopolitik.
Pada akhirnya, keputusan akhir akan bergantung pada kombinasi kemampuan, biaya, dan dampak geopolitik, bukan hanya logika pengadaan saja.
"Jika Indonesia meneruskan rencana ini, Indonesia melangkah maju dengan kesadaran penuh bahwa keputusan ini akan membentuk masa depan kekuatan udara Asia Tenggara selama beberapa dekade mendatang," kata laporan DSA.
Indonesia telah mengakuisisi 42 jet tempur Rafale buatan Prancis sebagai bagian dari rencana modernisasi jangka panjang Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), dengan pesawat generasi 4,5 yang diharapkan menjadi andalan kemampuan udara negara ini melalui keunggulannya dalam misi serangan jarak jauh, peperangan elektronik, dan dominasi wilayah udara regional.

Kekuatan Baru Indo-Pasifik
Minat Indonesia terhadap J-10C mencerminkan fakta bahwa kawasan Indo-Pasifik kini berada dalam era baru di mana otonomi strategis mengalahkan loyalitas aliansi sebagai dasar keputusan pertahanan nasional.
Proses penilaian TNI-AU mencerminkan perubahan ini — tindakan penyeimbangan yang cermat antara kemampuan, biaya, dan kebebasan diplomatik.
Jika akuisisi ini menjadi kenyataan, J-10C akan menjadi jet tempur buatan China pertama yang bertugas di Indonesia, menandai diversifikasi strategis bersejarah yang akan bergema dari Kuala Lumpur hingga Canberra.
Langkah ini juga menunjukkan bahwa masa depan kekuatan udara Asia Tenggara tidak lagi ditentukan oleh cetakan Perang Dingin, tetapi oleh kepentingan nasional dan realitas ancaman saat ini.
"Saat Jakarta terus mempertimbangkan pilihannya, satu hal yang pasti — keputusan ini akan menentukan tidak hanya strategi pertahanan udara Indonesia selama beberapa dekade mendatang, tetapi juga peta kekuatan baru Indo-Pasifik," kata laporan itu.
Apakah "Vigorous Dragon" akan berkibar di bawah bendera merah-putih masih belum pasti, tetapi bayangannya sudah membayangi langit Asia Tenggara.
Jokowi Temui Prabowo 2 Jam, Pengamat: Bahas Dukungan 2 Periode, Minta Gibran Diberi Tugas |
![]() |
---|
5 Tragedi Bangunan Ambruk di Indonesia 2020-2025, Terbaru Ponpes Al Khoziny |
![]() |
---|
Daftar Pemenang Nobel 2025: 6 Nama Telah Diumumkan untuk Bidang Fisiologi atau Kedokteran dan Fisika |
![]() |
---|
Terjemahan Lirik Lagu Obvious - Blink 182: I Saw You Again, I Think You Used Me Again |
![]() |
---|
Israel Peringati Dua Tahun Perang Gaza: Rakyat Mulai Lelah, Tuntut Pemerintah Segera Akhiri Konflik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.