Top Rank
10 Skandal Terbesar dalam Sejarah PBB: dari Wabah Kolera hingga Penyalahgunaan Hak Veto
PBB dibentuk untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Namun, organisasi ini tak lepas dari kontroversi dan skandal
Ringkasan Berita:
- PBB dibentuk untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia
- Namun, organisasi ini tak lepas dari kontroversi dan skandal
- Inilah 10 skandal terbesar PBB selama pembentukannya
TRIBUNNEWS.COM - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang didirikan pada 24 Oktober 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II.
PBB lahir dari komitmen 51 negara untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, serta mendorong kemajuan sosial, peningkatan standar hidup, dan penegakan hak asasi manusia, mengutip unvienna.org.
PBB memiliki empat tujuan utama, yaitu:
- Menjaga perdamaian di seluruh dunia.
- Membangun hubungan persahabatan antarbangsa.
- Membantu bangsa-bangsa bekerja sama untuk meningkatkan taraf hidup, mengatasi kelaparan, penyakit, dan buta huruf, serta mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan satu sama lain.
- Menjadi pusat penyelarasan tindakan bangsa-bangsa untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Namun, di balik misi mulianya, PBB juga pernah terseret dalam berbagai kontroversi dan skandal besar yang mengguncang kepercayaan publik.
Mengutip historycollection.com, berikut 10 skandal terbesar dalam sejarah PBB.
1. Korupsi Program Minyak-untuk-Pangan
Program Oil-for-Food (1995–2003) awalnya dimaksudkan untuk meringankan penderitaan rakyat Irak di bawah sanksi ekonomi.
Namun, program ini justru berubah menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah PBB.
Diperkirakan sekitar 1,8 miliar dolar AS dialihkan secara ilegal melalui suap, sogokan, dan penipuan yang melibatkan pejabat PBB serta kolaborator eksternal.
2. Wabah Kolera di Haiti
Pada tahun 2010, pasukan penjaga perdamaian PBB secara tidak sengaja membawa bakteri kolera ke Haiti, memicu epidemi yang menewaskan lebih dari 10.000 orang.
Meskipun bukti terus bermunculan, PBB lambat mengakui tanggung jawabnya. Respons yang terkesan abai menuai kritik internasional.
Bertahun-tahun kemudian, PBB akhirnya mengakui perannya, tetapi banyak korban menyatakan bahwa keadilan dan kompensasi masih belum sepenuhnya diberikan.
3. Ketidakpedulian terhadap Genosida Rwanda
Pada tahun 1994, terjadi genosida di Rwanda yang menewaskan sekitar 800.000 orang, sebagian besar dari etnis minoritas Tutsi.
Meskipun telah ada peringatan dari komandan lapangan dan kelompok HAM, PBB gagal bertindak atau memperkuat mandat pasukan penjaga perdamaiannya.
Baca juga: Catatan 80 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB: Penjaga Perdamaian atau Tawanan Kekuasaan?
4. Pembantaian Srebrenica dan Pasukan Dutchbat
Tragedi Srebrenica pada tahun 1995 menewaskan lebih dari 8.000 Muslim Bosnia, meskipun wilayah itu telah dinyatakan sebagai “daerah aman” di bawah perlindungan pasukan penjaga perdamaian PBB, yang dikenal sebagai Dutchbat.
Pasukan tersebut kewalahan dan gagal mencegah pembantaian.
Investigasi selanjutnya menemukan kelemahan besar dalam kepemimpinan dan kesiapsiagaan PBB di lapangan.
5. Pelanggaran Pasukan Penjaga Perdamaian di Republik Demokratik Kongo
Republik Demokratik Kongo berulang kali menjadi lokasi skandal terkait pelanggaran oleh pasukan penjaga perdamaian PBB.
Dilaporakan pasukan penjaga perdamaian hanya mau memberikan bantuan jika para wanita mau melayani mereka.
Ada pulak kasus kekerasan terhadap warga sipil.
6. Intimidasi terhadap Pelapor Internal (Whistleblower)
Banyak staf PBB yang berani mengungkap korupsi atau penyalahgunaan wewenang justru mengalami intimidasi.
Mereka diturunkan jabatannya, dikucilkan, atau bahkan dipecat.
Budaya intimidasi ini menciptakan iklim ketakutan yang menghambat transparansi dan akuntabilitas dalam tubuh organisasi.
7. Penanganan PBB atas Perang Saudara Sri Lanka
PBB dikritik keras karena dinilai gagal merespons dugaan kejahatan perang selama Perang Saudara Sri Lanka (1983–2009).
Meski terdapat bukti kematian massal warga sipil, PBB dianggap lambat bertindak dan enggan menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak terkait.
Laporan internal PBB sendiri menyoroti kegagalan dalam melindungi warga sipil, namun langkah nyata baru diambil bertahun-tahun kemudian.
8. Krisis Rohingya di Myanmar
PBB juga menuai kritik atas responsnya terhadap krisis Rohingya di Myanmar.
Pembersihan etnis dan pengungsian massal terjadi di depan mata dunia, namun banyak pihak menilai PBB gagal bertindak tegas.
Kelambanan ini memperparah penderitaan pengungsi Rohingya dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan PBB menangani pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Brigadir Renita Rismayanti Jadi Polwan Indonesia Pertama Raih Penghargaan PBB
9. Kegagalan di Sudan Selatan
Misi penjaga perdamaian PBB di Sudan Selatan kerap dituding gagal melindungi warga sipil saat terjadi gelombang kekerasan.
Meski memiliki mandat untuk melindungi penduduk rentan, pasukan di lapangan sering kali tidak bertindak bahkan ketika kekejaman terjadi di dekat mereka.
Puncak kritik terjadi setelah insiden kekerasan besar pada 2016 yang memicu penyelidikan internal dan mengungkap kegagalan signifikan dalam kepemimpinan misi tersebut.
10. Penyalahgunaan Hak Veto Dewan Keamanan
Salah satu sumber frustrasi terbesar terhadap PBB adalah penyalahgunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan.
Negara-negara seperti Rusia, China, dan Amerika Serikat kerap menggunakan hak veto untuk memblokir resolusi penting, bahkan dalam situasi krisis kemanusiaan seperti di Gaza.
Penyalahgunaan veto ini berulang kali melumpuhkan Dewan Keamanan dan membuat PBB kesulitan mengambil tindakan efektif terhadap konflik global atau pelanggaran hak asasi manusia.
Pesan dan Harapan Sekjen PBB di Peringatan 80 Tahun PBB
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyampaikan pesan pada Jumat (24/10/2025) dalam rangka memperingati 80 tahun berdirinya PBB.
Dalam pernyataannya, Guterres menyerukan agar dunia bersatu memecahkan berbagai masalah global dan menghadapi tantangan bersama.
Dalam pesan video yang dibagikan melalui platform X (sebelumnya Twitter), Sekjen PBB mengatakan:
“Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih dari sekadar lembaga — ia adalah janji yang hidup: menjembatani batas negara, menjembatani benua, dan menginspirasi generasi.
Selama delapan puluh tahun, kita telah bekerja untuk menciptakan perdamaian, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, memajukan hak asasi manusia, serta membangun dunia yang lebih berkelanjutan — bersama-sama.”
Berbicara mengenai tantangan masa depan, Guterres menyoroti berbagai ancaman global yang kini dihadapi dunia:
“Saat kita menatap ke depan, kita menghadapi tantangan berskala besar — konflik yang terus meningkat, kekacauan iklim, teknologi yang tak terkendali, dan ancaman terhadap struktur institusi kita.”
Ia menegaskan bahwa dunia tidak boleh menyerah pada rasa takut:
Baca juga: Konferensi Simulasi Sidang PBB Digelar di Bali, Diikuti 700 Anak Muda dari 20 Negara
“Ini bukan saatnya untuk takut atau mundur. Sekarang, lebih dari sebelumnya, dunia harus berkomitmen kembali untuk memecahkan masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh satu negara pun sendirian.”
Menutup pesannya, Guterres menyerukan persatuan global di Hari PBB:
“Pada Hari PBB ini, mari kita bersatu dan penuhi janji luar biasa Perserikatan Bangsa-Bangsa kita. Mari kita tunjukkan kepada dunia apa yang mungkin terjadi ketika ‘kita, rakyat’ memilih untuk bertindak sebagai satu kesatuan.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.