Bukan Lelah Biasa, Ketahui Penyakit Autoimun Langka Myasthenia Gravis
Tak banyak orang menyadari bahwa rasa lelah bisa jadi sinyal bahaya dari penyakit autoimun langka yaitu Myasthenia Gravis (MG).
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah tuntutan kerja yang tinggi dan ritme hidup yang cepat, kelelahan sering dianggap sebagai hal lumrah.
Namun, tak banyak yang menyadari bahwa rasa lelah bisa jadi sinyal bahaya dari penyakit autoimun langka yaitu Myasthenia Gravis (MG).
Myasthenia Gravis adalah penyakit autoimun neuromuskular kronis yang ditandai oleh kelemahan otot yang fluktuatif.
Gejalanya bisa berupa kelopak mata turun, penglihatan ganda, suara sengau, hingga kesulitan menelan dan bernapas.
Baca juga: Cerita Dokter Spesialis Saraf Penyintas Myasthenia Gravis: Bukan Sial, Tapi Special Edition
Baca juga: Berawal Kelopak Mata Turun, Ini Kisah Tata yang Mengalami Autoimun Langka
Sayangnya, gejala-gejala ini kerap disalahartikan sebagai kelelahan biasa, stres kerja, atau bahkan dianggap sebagai gangguan psikosomatis.
Keterlambatan diagnosis menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pasien MG.
Tanpa penanganan yang tepat, penyakit ini dapat menimbulkan komplikasi berbahaya seperti krisis miastenik, yaitu kondisi darurat medis akibat kelemahan otot pernapasan yang dapat berujung pada kematian.
Data menyebutkan, angka mortalitas MG mencapai 14 persen dalam 5 tahun pertama, dan naik menjadi 21 persen dalam 10 tahun setelah munculnya gejala.
Dokter Spesialis Saraf RSCM, dr. Ahmad Yanuar Safri, SpS(K), menggarisbawahi pentingnya akses pengobatan dan deteksi dini.
“Selain dapat menyebabkan kematian, penyakit ini juga menurunkan produktivitas kerja, membatasi aktivitas sosial, dan pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi dan sosial bagi pasien, keluarga, dan sistem kesehatan," ungkapnya acara Health Talk bersama Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) dan Menarini di Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2025).
Pasien MG memerlukan pengobatan yang tepat, konsisten, dan terjangkau untuk dapat mempertahankan kualitas hidup yang optimal.
"Dengan demikian, ketersediaan dan akses pengobatan sangatlah penting,” ujarnya.
Senada dengan dr. Yanuar, dr. Zicky Yombana, Sp.S, dari RS Brawijaya Saharjo, menyampaikan bahwa kesadaran masyarakat akan gejala MG masih rendah.
Bahkan sering kali terjebak pada kesimpulan dari pencarian daring.
“Pada saat ini banyak masyarakat yang mengabaikan gejala seperti kelopak mata yang sering turun atau suara yang tiba-tiba menjadi sengau, lalu menganggapnya hanya sebagai kelelahan biasa akibat tuntutan pekerjaan," sambung dr Zicky.
Di era digital ini, banyak yang terjebak dalam 'Jebakan Dr. Google', mencoba mendiagnosis diri sendiri dan menunda konsultasi medis yang krusial.
"Sebagai dokter sekaligus pasien, saya tahu persis betapa pentingnya diagnosis dini. Jika Anda merasakan kelemahan otot yang hilang timbul," lanjutnya.
Ia mengimbau untuk segera berkonsultasi dengan dokter saraf.
Langkah ini menjadi kunci untuk mencegah komplikasi berbahaya seperti krisis miastenik dan memungkinkan untuk kembali hidup secara produktif.
Perspektif pasien juga menjadi bagian penting dalam upaya edukasi.
Salah satunya datang dari Annisa Kharisma, penyintas MG dan anggota YMGI.
Ia mengaku bahwa masa awal diagnosis dipenuhi kebingungan.
“Bagian terburuknya adalah kebingungan. Saya diberi tahu bahwa saya 'hanya lelah,' 'stres karena pekerjaan,' atau 'mungkin hanya butuh lebih banyak tidur.' Saya pun mulai meragukan diri saya sendiri,” tutur Annisa.
Ia berharap masyarakat lebih peka terhadap keluhan yang mungkin tampak ringan namun bisa jadi tanda penyakit serius.
Komitmen Menarini Indonesia dalam kampanye ini juga menjadi sorotan.
Presiden Direktur Menarini Indonesia, Idham Hamzah, menjelaskan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari upaya untuk menghadirkan perubahan nyata bagi pasien MG di Indonesia.
Tak hanya lewat terapi medis, namun juga melalui peningkatan kesadaran masyarakat.
“Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kami untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit MG, agar pasien tidak terlambat didiagnosis dan dapat segera mendapatkan terapi yang tepat,” ujar Idham.
Ke depan, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci.
Menarini Indonesia mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk dokter, apoteker, asosiasi pasien, dan pemerintah untuk bekerja sama dalam meningkatkan deteksi dini.
Menjamin akses pengobatan, serta memperbaiki kualitas hidup pasien MG di Indonesia.
Karena bagi para penyintas, lebih dari sekadar lelah bisa jadi peringatan awal dari perjuangan panjang melawan penyakit yang tak terlihat, tapi nyata.
Acara Health Talk terkait Miastena Gravis bersama Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI) dan Menarini yang diadakan di Jakarta Selatan, Sabtu (12/7/2025).
Cerita Dokter Spesialis Saraf Penyintas Myasthenia Gravis: Bukan Sial, Tapi Special Edition |
![]() |
---|
Berawal Kelopak Mata Turun, Ini Kisah Tata yang Mengalami Autoimun Langka |
![]() |
---|
Tak Kapok Diteror, Dokter Tifa Komentari Jokowi Jalan Tertatih saat Liburan Bersama Cucu |
![]() |
---|
Dokter Richard Lee Duga Jokowi Alami Alergi Obat hingga Autoimun, Sarankan Segera Cek Lab |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.