Gangguan Penglihatan pada Anak Bisa Picu Masalah Emosional, Ini Penjelasan Dokter Mata
Penelitian terbaru menunjukkan, masalah ini bisa berpengaruh jauh lebih dalam: hingga memengaruhi kondisi emosional anak.
TRBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gangguan penglihatan pada anak sering kali dianggap sepele—sekadar urusan kacamata atau keturunan.
Namun penelitian terbaru menunjukkan, masalah ini bisa berpengaruh jauh lebih dalam: hingga memengaruhi kondisi emosional anak.
Baca juga: Rafael Tan Operasi Plastik Jidat ke Korea karena Fungsi Penglihatan Menurun, Matanya Kerap Melotot
Hal ini diungkapkan oleh dr. Kianti Raisa Darusman, Sp.M(K), MMedSci, dokter spesialis mata anak yang juga peneliti utama dalam program Cermata, saat memaparkan hasil risetnya dalam acara Media Briefing Inovasi Skrining Kesehatan Mata & Jiwa Anak Indonesia di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
“Ketika anak-anak dengan gangguan penglihatan mengisi kuesioner kesehatan jiwa SDQ-25, hasilnya menunjukkan kecenderungan gangguan emosional. Tidak selalu berat, tetapi ada indikasi tertentu yang perlu diperhatikan,” jelas dr. Kianti.
Menurutnya, anak-anak dengan gangguan penglihatan sering kali dianggap “nakal” di kelas—padahal perilaku mereka bisa jadi bentuk frustrasi karena tidak mampu melihat dengan jelas.
Baca juga: Begini Penglihatan Pasien Glaukoma, Makanya Tak Disarankan Mengendarai Mobil
“Guru kadang tidak menyadari bahwa anak yang terlihat mencontek atau sering melirik ke samping sebenarnya sedang berusaha melihat,” katanya.
Rasa Percaya Diri dan Faktor Gender
Bukan hanya akademik yang terdampak, gangguan penglihatan juga bisa menurunkan rasa percaya diri, terutama pada anak perempuan.
“Banyak anak perempuan merasa kurang percaya diri saat harus memakai kacamata. Kondisi ini dapat memengaruhi emosi mereka,” tutur dr. Kianti.
Menariknya, anak perempuan juga lebih berisiko mengalami rabun jauh dibanding anak laki-laki. Salah satu penyebabnya, mereka lebih sering beraktivitas di dalam ruangan.
Padahal, paparan sinar matahari alami terbukti memiliki efek protektif terhadap perkembangan mata minus.
Cahaya Matahari Bantu Lindungi Mata Anak
Profesor dr. Nila Djuwita F.A. Moeloek, Sp.M(K)—Menteri Kesehatan RI periode 2014–2019—menambahkan, aktivitas di luar ruangan sangat penting untuk menjaga kesehatan mata anak.
“Ketika melihat ke jauh, mata menjadi lebih rileks. Prinsipnya, setiap 20 menit melihat dekat, sebaiknya istirahat dengan melihat jauh—misalnya keluar jendela,” ujarnya.
Ia juga mendorong sekolah untuk membatasi penggunaan gawai saat jam istirahat agar anak-anak bisa mengistirahatkan mata. Selain itu, paparan sinar matahari membantu meningkatkan dopamin di retina, yang berperan mencegah bola mata memanjang—penyebab utama rabun jauh.
Bermain di Luar Ruangan, Cara Pencegahan Paling Efektif
Dr. Kianti menegaskan, cara paling sederhana mencegah gangguan penglihatan adalah memperbanyak aktivitas di luar ruangan.
“Untuk anak yang sudah mengalami gangguan, bisa dibantu dengan lensa khusus atau terapi tertentu. Tapi pencegahan paling efektif tetap dengan bermain di luar ruangan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya membatasi screen time sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yakni maksimal 1–2 jam per hari untuk hiburan, tergantung usia anak.
Inovasi Digital Jadi Alat Deteksi Dini
Menjawab tantangan akses pemeriksaan mata dan kesehatan jiwa anak, dr. Kianti bersama tim Health Collaborative Center (HCC), Laulima Eye Health Initiative, dan Indonesian Health Development Center (IHDC) mengembangkan inovasi skrining digital bernama CERMATA—adaptasi lokal dari platform WHOeyes.
Cermata menjadi platform digital pertama yang menggabungkan pemeriksaan kesehatan mata dan kesehatan jiwa anak secara terpadu dan inklusif.
Melalui uji coba pada lebih dari 1.200 anak SD di Jakarta, pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan cakupan skrining dan deteksi dini gangguan penglihatan maupun emosional.
“Dengan Cermata, guru dapat melakukan skrining di sekolah, dan hasilnya bisa diverifikasi orang tua di rumah. Jadi semua pihak terlibat aktif,” jelas dr. Kianti.
Data awal menunjukkan: 40 persen anak memiliki gangguan penglihatan; 70 persen menunjukkan indikasi gangguan emosional; 50 persen mengalami masalah perilaku dan 27 persen memiliki tanda hiperaktivitas.
Menurut Prof. Nila Moeloek yang menjadi penasihat utama program ini, Cermata adalah gerakan kolaboratif yang melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan.
“Cermata bukan hanya alat skrining, tapi gerakan bersama untuk memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat—secara visual dan emosional,” tutupnya. (Eko Sutriyanto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.