Perusak Mental Remaja Berkedok Kritik: 5 Tanda Perilaku Gaslighting, Bukan Memberi Nasihat
Membedakan kritik membangun dengan tindakan gaslighting menjadi kemampuan penting untuk menjaga kesehatan mental.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Remaja semakin sering berhadapan dengan berbagai bentuk komunikasi yang membingungkan, mulai dari kritik yang dianggap terlalu keras hingga komentar yang terasa meremehkan.
Di tengah perubahan emosional dan sosial yang mereka alami, membedakan kritik membangun dengan tindakan gaslighting menjadi kemampuan penting untuk menjaga kesehatan mental.
Psikolog Klinik Utama Kasih Ibu Sehati (KUKIS), Hafizh Mutiara Nisa, M.Psi, CHt, menegaskan bahwa kedua hal tersebut memiliki perbedaan mendasar.
Baca juga: Masalah Mental Makin Kompleks, Kemenkes: Jumlah Psikolog Klinis Masih Minim
“Kritikan yang membangun dan gaslighting ini dua hal yang berbeda ya,” ujar Hafizh pada live streaming Healthy Talk di kanal YouTube Tribun Health, Minggu (23/11/2025).
Untuk membantu remaja lebih mudah mengenalinya, berikut lima cara membedakan gaslighting dengan kritik membangun berdasarkan penjelasan sang psikolog.
1. Lihat Fokus Pembahasan: Kritik Membangun Selalu Jelas Tujuan dan Isunya
Hafizh menjelaskan bahwa kritik konstruktif memiliki fokus yang jelas.
“Kritikan yang membangun itu misalnya disampaikan fokus pada permasalahan yang mau dibahas, kemudian fokus pada permasalahan yang dibahas,” katanya.
Kritik tersebut membahas perilaku atau situasi tertentu, bukan menyerang pribadi.
Sebaliknya, gaslighting sering kali tidak memiliki fokus yang jelas.
Komentarnya menyimpang, melebar, atau justru menyerang karakter remaja tanpa hubungan dengan masalah yang sedang dibahas.
Jika topik pembicaraan berubah menjadi tuduhan yang tidak relevan atau meremehkan perasaan, itu bisa menjadi tanda gaslighting.
2. Periksa Apakah Ada Upaya Mencari Solusi
Ciri kuat dari kritik yang membangun adalah adanya ajakan berdiskusi dan mencari penyelesaian.
Menurut Hafizh, kritik yang sehat memiliki tujuan.
“Untuk mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi tersebut, jadi ada diskusi dua arah antara keduanya,"imbuhnya.
Jika seseorang memberikan saran, mengajak berdialog, atau menunjukkan langkah yang bisa diperbaiki, itu termasuk kritik konstruktif.
Namun pada gaslighting, tidak ada arah pembahasan yang jelas dan tidak ada upaya memperbaiki situasi. Pembicaraan cenderung berakhir pada rasa bingung atau bersalah.
3. Apakah Disertai Data, Fakta, atau Penjelasan yang Jelas?
Dalam komunikasi yang membangun, pendapat biasanya dilengkapi contoh atau alasan yang masuk akal.
"Baiknya juga disertai dengan data atau faktor tertentu jadi remaja ini bisa mengerti dan memberikan gambaran," jelasnya.
Contoh konkret dapat membantu remaja memahami perilaku apa yang perlu diperbaiki.
Sedangkan gaslighting tidak pernah dilengkapi penjelasan faktual.
Tuduhan muncul tanpa bukti, sering bersifat sarkastis, dan tidak memberi ruang remaja untuk memahami konteks perilaku mereka.
4. Kenali Apakah Komentar Hanya Pelampiasan Emosi
Pada gaslighting, komentar yang muncul biasanya lebih bersifat pelampiasan, bukan komunikasi yang bertujuan memperbaiki hubungan.
“Hanya obrolan yang sifatnya kritik hanya yang sarkas, dan penyelesaiannya pun tentu tidak ada ya. Karena hanya untuk seperti kalau orang bilang pelampiasan secara emosional, ada memfitnah, ada meneror," paparnya.
Jika seseorang meluapkan emosi dengan menyalahkan, merendahkan, atau mengaburkan fakta, itu bukan kritik membangun.
Kritik yang sehat tidak dilakukan dalam keadaan penuh kemarahan atau niat mempermalukan.
5. Perhatikan Kondisi Emosional Remaja: Mengapa Mereka Rentan Terhadap Gaslighting
Remaja berada pada fase hidup yang penuh dinamika. Mereka sedang mencari jati diri, mengembangkan kemandirian, dan membangun batas pribadi.
“Iya, oke, jadi remaja itu kan ada di fase transisi antara anak-anak menuju ke dewasa. Di masa-masa ini secara kestabilan emosional memang belum matang,” ujar Hafizh.
Menurut teori psikososial Erikson, usia 12–18 tahun berada dalam fase krisis identitas. Pada periode ini, remaja:
- Mulai mengenal lawan jenis.
- Mencari minat dan jati diri.
- Banyak belajar dari lingkungan.
- Membutuhkan privasi dan kemandirian.
- Lebih nyaman dengan teman sebaya dibanding orang tua.
Perubahan besar ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh komentar orang lain.
Faktor lain yang berperan adalah kematangan emosional yang belum sempurna, ketidakterbukaan pada orang tua, serta idealisme yang tinggi.
Hal-hal tersebut membuat remaja lebih rentan mengalami gaslighting, terutama jika mereka tidak memiliki figur pendukung yang bisa menjadi tempat bercerita.
“Ini ketika perannya itu cenderung yang kurang dalam diri anak itu mudah sekali akan terombang-ambing dengan keadaan,” jelas Hafizh.
Dengan memahami lima cara ini, remaja dapat membangun kemampuan membedakan kritik yang bermanfaat dengan gaslighting yang merugikan kesehatan mental.
Dukungan orang tua, guru, dan teman sebaya juga penting agar remaja memiliki ruang aman untuk bertanya, berekspresi, dan belajar mengenali batas diri.
Pemahaman ini membantu remaja melangkah lebih mantap dalam masa transisi menuju kedewasaan tanpa kehilangan kepercayaan diri dan suara personalnya.
(Tribunnews.com/ Aisyah Nursyamsi)
Sumber: Tribunnews.com
| Mudah Panik hingga Mengganggu Aktivitas Keseharian? Psikolog Bagikan Cara Menenangkan Diri |
|
|---|
| Fenomena 'Pacaran' dengan AI, Psikolog Ungkap Bahayanya |
|
|---|
| Pernah Dihantui Perasaan Bersalah Saat Libur? Psikolog Beri Penjelasan |
|
|---|
| Psikolog Nilai Pemindahan Ammar Zoni ke Nusakambangan Kurang Tepat: Harusnya Fokus ke Rehabilitasi |
|
|---|
| Psikolog Ungkap Akar Masalah di Balik Kambuhnya Ammar Zoni: Luka yang Belum Sembuh |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.