Rabu, 19 November 2025

Skripsi Digantikan Makalah

Diknas Jangan Buru-buru Ganti Skripsi dengan Makalah

Perlu dibuat mekanisme yang tepat untuk peningkatan produktivitas karya ilmiah tidak semata melalui jurnal ilmiah, terutama bagi lulusan S1

Editor: Gusti Sawabi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Dikeluarkannya surat edaran Dikti No: 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa program S1, S2, dan S3 cukup mengagetkan kalangan perguruan tinggi. Terutama hal mengenai adanya persyaratan khusus kelulusan bagi mahasiswa program sarjana yakni menghasilkan karya ilmiah (makalah) yang diterbitkan pada jurnal ilmiah.

Mahasiswa program magister harus menerbitan karya di jurnal ilmiah nasional, serta menerbitkan makalah di jurnal internasional bagi mahasiswa program doktoral.

Dalam surat Dirjen Dikti tersebut juga disampaikan, saat ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan bersama untuk meningkatkannya.

Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut. Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Kemudian program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti. Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal internasional.

Terkait hal tersebut, Anggota Komisi X DPR, Puti Guntur Soekarno mengatakan sebaiknya Diknas terlebih dahulu menyiapkan sumber daya yang ada dan membuat kajian kesiapan, serta mempersiapkan infrastruktur dan anggaran yang digunakan.

"Boleh saja membandingkan dengan Malaysia tetapi juga harus dilihat tingkat kesiapan dan dukungan anggarannya sebab Malaysia mengalokasikan lebih dari 25 persen APBN untuk pendidikan dan itu murni untuk membiayai pendidikan sedangkan kita 20 persen anggaran pendidikan, itu pun juga dipakai untuk membayar gaji guru dan dosen, serta membiayai fungsi pendidikan di kementerian dan lembaga (K/L ) lain dimana ada sekitar 18 K/L," ujar Puti dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Senin(13/2/2012).

Dukungan dana riset ilmiah di Malaysia lanjut Puti cukup besar mencapai kisaran 30 persen dari APBN pendidikan mereka. Jangan hanya melihat enaknya tetapi kewajibannya juga harus dilihat. Perlu dibuat mekanisme yang tepat untuk peningkatan produktivitas karya ilmiah tidak semata melalui jurnal ilmiah, terutama bagi lulusan S1 karena harus dilihat juga bahwa pemerintah kurang memiliki kepedulian, dukungan dan penghargaan terhadap penelitian ilmiah.

"Jurnal ilmiah jelas harus laporan hasil dari penelitian ilmiah. Untuk itu lebih relevan dengan menghidupkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang sekarang justru seperti hilang dan menjauhkan kalangan Pendidikan Tinggi dengan rakyat," jelasnya.

Lebih jauh Puti menambahkan, dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi jelas diatur mengenai kewajiban civitas akademisi Perguruan Tinggi untuk melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Tentu kegiatan ilmiah pada yang dilakukan lulusan lebih memiliki social benefit dan mempersiapkan lulusan untuk bisa kembali menjadi kader pembangunan dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki.

Bagi lulusan S2 harus mempublikasikan karya ilmiahnya (thesis) di jurnal berstandar nasional tentu tidak masalah mengingat tingkat Master yang memang seyogianya menjadi seorang ahli dalam bidang keilmuan tertentu. Untuk lulusan doktoral (S3) harus menulis karya ilmiah di jurnal berstandar internasional juga tidak begitu mengandung persoalan.

"Tetapi harus dipikirkan bagaimana dengan banyaknya program Magister, S2 dan S3 yang ada di Indonesia akankah mendapat sanksi penutupan misalnya jika prosentase lulusannya tidak sanggup mempublikasikan karya ilmiah di jurnal nasional maupun internasional misalnya kebanyakan karyanya ditolak oleh jurnal terkait," kata Puti.

Politisi PDI Perjuangan ini juga mengatakan melihat kurangnya persiapan Diknas dalam menyiapkan sistem, infrastruktur, mekanisme, aturan dan didukung anggaran yang memadai untuk kebijakan itu tentu kebijakan ini sangat buru-buru. Jangan sampai upaya meningkatkan produktifitas karya ilmiah untuk mengejar ketertinggalan justru menghasilkan masalah baru akibat ketidaksiapan, seperti dalam kasus Ujian Nasional dan sertifikasi guru yang masih menyisakan persoalan.

Belum lagi kata Puti masih banyak problem terkait akreditasi Perguruan Tinggi di beberapa PT. Masalah Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK Dikti) yang masih rendah sebesar 26 persen.

"Dan Kemendikas pun masih menyisakan PR untuk menyelesaikan Data Pokok Keependidikan (Dapodik) secara nasional yang juga belum kelar. Karena itu kami mendesak Kemendiknas untuk memberikan klarifikasi terkait kebijakan baru yang dikeluarkan melalui surat Dirjen Dikti tersebut," katanya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved