Minggu, 24 Agustus 2025

Ledakan di Depok

MUI dan LDII: Wacana Sertifikasi Ulama Pemikiran Fasis

MUI dan LDII menolak wacana sertifikasi ulama yang diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

zoom-inlihat foto MUI dan LDII: Wacana Sertifikasi Ulama Pemikiran Fasis
TRIBUNNEWS.COM/ YOGI GUSTAMAN
Kepala BNPT Ansyaad Mbai meninjau lokasi ledakan bom di kawasan Beji, Depok, Minggu (9/9/2012).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), menolak wacana sertifikasi ulama yang diusulkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Karena itu, MUI dan LDII mengajak semua ulama menolak wacana ini. Sebab, menurut Ketua MUI Slamet Effendi Yusuf, wacana sertifikasi ulama merupakan bentuk fasisme gaya baru, yang coba diterapkan pihak-pihak tertentu di Indonesia. Meski, negara yang dijadikan referensi adalah Malaysia dan Singapura.

“Itu pemikiran fasis, otoriter, dan perlu ditertawakan di era demokrasi ini,” ujar Slamet di Kantor DPP LDII, Jakarta, Rabu (12/9/2012).

Eksistensi ulama, lanjutnya, tidak dilihat berdasarkan sebuah sertifikat. Malah, Slamet menilai aneh jika ada negara yang menerapkan sertifikasi ulama sebagai upaya deradikalisasi.

“Ulama itu karena pengakuan masyarakat, karena ilmu dan amalnya, bukan karena sertifikat. Enggak perlu ada sertifikat seperti itu,” imbuhnya.

Slamet juga mengajak seluruh elemen masyarakat meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing, untuk mencegah berkembangnya aksi terorisme di Tanah Air.

“Kewaspadaan lingkungan yang dimulai dari keluarga hingga tingkat pemerintahan terkecil seperti RT/RW, sangat diperlukan untuk menekan ruang gerak para pelaku teror di Indonesia,” paparnya.

Slamet menegaskan, apa yang disampaikan para teroris mengenai mati syahid, tidak lah benar. Apalagi, serangan teror yang dilakukan di Indonesia tidak memenuhi unsur dalam ilmu fiqh Islam.

"Bohong itu kalau mereka mati syahid," tegasnya.

Menurut Slamet, pemahaman salah ini digulirkan karena pengetahuan agama mereka rendah. Ia menjelaskan, pengertian perang jihad memang ada dalam hukum Islam, namun memiliki aturan tersendiri.

Jihad perang hanya bisa dilakukan di wilayah perang. Itu tidak berlaku di Indonesia, yang wilayahnya aman. Sehingga, Indonesia bukan lah tempat jihad perang.

"Kalau jihad perang dilakukan di wilayah aman seperti Indonesia, yang rugi adalah Umat Islam sendiri. Kalau di wilayah aman, kan Umat Islam bisa melakukan jihad bentuk lain, seperti mengajar, atau mengangkat derajat masyarakat miskin," tuturnya.

Sementara, Ketua LDII Chriswanto Santoso menilai, upaya deradikalisasi juga harus dilakukan melalui dakwah bilhal.

Sebab, aksi terorisme juga dipicu berbagai masalah lain, yang tak hanya masalah teologi, seperti kemiskinan, kesenjangan, dan krisis ekonomi.
"Makanya, kami juga bergerak dalam pengentasan kemiskinan," ucap Chris.

Karena itu, ia mengajak seluruh ulama di Indonesia memberikan pemahaman agama yang lebih mendalam. Ini penting agar kasus terorisme dapat ditekan dan dihilangkan dari bumi Ibu Pertiwi.

"Kami bersama MUI akan terus menjalin komunikasi kepada seluruh ulama, agar dapat terus mengedepankan dakwah yang tidak mengedepankan kekerasan," katanya.

Sebelumnya, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, mengaku tak pernah mengusulkan sertifikasi untuk para ulama, guna mengantisipasi gerakan radikal di Indonesia.

"Itu bukan program BNPT. Itu jawaban pertanyaan dari media ketika saya ditanya di acara Sindo Radio," ujar Irfan di Jakarta, Selasa (11/9/2012).

Ia menjelaskan, pernyataan itu ia lontarkan terkait ketatnya Singapura dalam menanggulangi aksi terorisme, mulai dari UU Antiteroris sampai peran ulama.

"Di Singapura ada 4.000 ustad dan ulama. Dari 4.000, ada 1.400 (ulama) sudah disertifikasi. Itu setelah delapan tahun berjalan," terangnya.

Pernyataan Irfan bukan bermaksud mengecilkan peran ulama, namun justru menghargai peran ulama.

Menurut Irfan, ada sejumlah ulama yang memiliki keilmuan yang tidak lengkap, dan hanya membaca buku-buku tertentu, dan kemudian membagi ilmu kepada murid, hingga kemudian ditafsirkan makna yang lain oleh si murid. Inilah yang cenderung melahirkan gerakan radikal.

Kendati demikian, sambung Irfan, jika pemerintah menginginkan sertifikasi ulama seperti di Singapura dan Arab Saudi, maka perlu survei lebih dulu.

"Kalaupun jadi, tidak ada urusan dengan BNPT. Mungkin MUI atau Kemenag yang berwenang. Jangan katakan itu program BNPT. Ini kan wacana," tuturnya. (*)

BACA JUGA

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan