Pengadilan Negeri Dinilai Tidak Memiliki Kompetensi Untuk Menguji UUD 1945 Hasil Amandemen
Doktor Zulkifli S Ekomei diketahui mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait berlakunya UUD 1945 hasil amandemen.
Penulis:
Vincentius Jyestha Candraditya
Editor:
Adi Suhendi
Dia menjelaskan, gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini adalah gugatan untuk menuntut diberlakukannya UUD 1945 sebelum amandemen.
Menurut dia, adanya amandemen terhadap UUD 1945 itu telah mengubah sistem ketatanegaraan dan sistem hidup bernegara serta bangsa Indonesia menjadi tidak jelas dan tanpa arah yang pasti.
Baca: Pemda Diminta Berani Bikin Kebijakan Lingkungan untuk Atasi Limbah Plastik
Selain itu, kata dia, perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat juga telah merugikan kepentingan umum, bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
"Akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat telah menyebabkan kerugian immaterial bagi penggugat yang diperhitungkan setidaknya Rp 1 Miliar karena ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan hidup dan masa depan penggugat, anak keturunan baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, maupun hukum sebagai Warga Negara Indonesia dalam situasi hidup bernegara tanpa arah yang jelas karena dihapuskannya GBHN sebagai patokan arah berbangsa, dan sistem bernegara yang menyimpang dari tujuan semula yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang asli yaitu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera," kata dia.
Adanya gugatan itu, kata dia, berimplikasi pada Penundaan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum itu.
"Secara hukum akan membawa konsekuensi, pertama penundaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, yang harus menunggu hasil putusan hukum pengadilan, atau hasil Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR untuk menyikapi gugatan hukum," kata dia.
Selain itu, kata dia, apabila MPR RI menyetujui gugatan tersebut untuk kembali menggunakan UUD 1945 sebelum amanden yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara.
Jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka proses pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan MPR.
Juga penyusunan dan penetapan GBHN dan pengisian utusan golongan di MPR.
"Bisa saja MPR memilih dan menetapkan (kembali,-red) pasangan Jokowi-Maruf Amin sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024," kata dia.
Terakhir, dia menambahkan, dalam gugatan tersebut, KPK diusulkan menjadi bagian dari MPR.
Upaya itu dilakukan untuk penguatan kelembagaan komisi antirasuah itu.
Sehingga, lembaga itu tidak dapat diintervensi, sekalipun oleh presiden.
Selain itu, secara psikologis dan praktik ketatanegaraan, posisi KPK bila menjadi bagian MPR akan memberi legitimasi yang kuat bagi KPK untuk memeriksa lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif.
"Intinya, menempatkan KPK sebagai bagian dari lembaga tertinggi negara, yaitu dengan sebuah Ketetapan /Tap MPR, maka KPK tidak bisa lagi diintervensi. Tentu secara teknis perlu dibicarakan secara detail terkait proses ini. Namun ini merupakan sebuah inisiatif yang perlu dipertimbangkan untuk kebaikan republik ini," katanya.