Senin, 18 Agustus 2025

Omnibus Law Cipta Kerja

Polisi Bakal Bubarkan Buruh yang Datang ke Jakarta Untuk Ikut Demo Tolak RUU Cipta Kerja

Polda Metro Jaya bakal mencegah kedatangan ribuan buruh dari daerah yang ingin mengikuti aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Seno Tri Sulistiyono
Ilustrasi Penolakan Omnibus Law: Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/7/2020). 

Dasar hukum aksi mogok nasional kaum buruh adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 

Said Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional serikat buruh dilakukan secara serentak mulai tanggal 6 Oktober 2020 di lingkungan kerja masing-masing.

Iqbal mengklaim aksi mogok nasional ini sudah mendapat izin dari Mabes Polri, Polres kota/kabupaten dan Polda setempat.

Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Pekerja: Ekonomi Tidak Dapat Pulih, Jika Pekerja Diberi Upah Murah

”Lokasi unjuk rasanya di lingkungan perusahaannya masing-masing. Dari pukul 06:00 WIB - 18:00 WIB. Tanggal 6 Oktober dan diakhiri tanggal 8 Oktober saat sidang Paripurna DPR. Dari 20 provinsi sudah konfirmasi akan mengikuti mogok nasional. Hampir lebih dari 150 kabupaten/kota diikuti oleh 2 juta buruh. Itulah jumlah yang masih kami dapatkan," kata Said Iqbal.

Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional ini dilatarbelakangi kekecewaan para buruh terkait pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disepakati oleh Pemerintah dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Sabtu (3/10) malam. Said Iqbal menjelaskan, ada tujuh isu di dalam RUU Cipta Kerja yang ditolak serikat buruh.

Pertama, yakni terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) yang dihapus melalui Omnibus Law Cipta Kerja.

Said Iqbal berpendapat, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab, UMK tiap kabupaten/kota berbeda-beda nilainya.

Baca: Politikus Demokrat Sebut Pembahasan RUU Cipta Kerja Ibarat Ibu Hamil yang Dipaksa Melahirkan

”Akan sangat tidak adil jika sektor otomotif dan sektor pertambangan nantinya akan memiliki nilai UMK yang sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk,” katanya.

Kedua, mengenai perubahan skema penyaluran pesangon melalui Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pesangon berubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar pemerintah lewat BP Jamsostek (BPJS).

Said Iqbal mempertanyakan dari mana BP Jamsostek mendapat sumber dana untuk membayar 6 bulan pesangon.

”BP Jamsostek justru bisa bangkrut dengan skema yang diterapkan melalui Omnibus Law Cipta Kerja ini," ujar dia.

Ketiga, yakni terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak. Buruh, kata Said Iqbal, tegas menolak PKWT seumur hidup.

Keempat, mengenai outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan.

Sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan.

Baca: Partai Demokrat Kritik Tak Ada Rasa Keadilan Sosial dalam RUU Cipta Kerja

"Karyawan kontrak tidak boleh seumur hidup, dia harus ada batas waktu kontrak sekitar 2 tahun, diperpanjang 2 tahun, setelah itu harus diangkat karyawan tetap atau dia keluar mencari pekerjaan lain. Masalah outsourcing juga tidak boleh seumur hidup," ucap dia.

Kelima, mengenai perubahan waktu jam kerja kaum buruh yang dinilai cenderung eksploitatif. Dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja yang dibahas Baleg DPR RI dan Pemerintah, dikatakan waktu kerja buruh per hari maksimal 8 jam kerja dan dalam satu minggu maksimal 40 jam kerja.

Halaman
123
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan