UU Cipta Kerja
Anggota Komisi VIII Nilai Ada Ketidaklaziman Formil dalam Persetujuan RUU Cipta Kerja
Hidayat Nur Wahid melihat ada ketidaklaziman dalam aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan Rancangan UU Cipta Kerja
Penulis:
Vincentius Jyestha Candraditya
Editor:
Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid menilai Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tak hanya memiliki berbagai substansi yang bermasalah yang masih terus mendapat kritikan dan penolakan publik.
HNW, begitu ia disapa, melihat ada ketidaklaziman dalam aspek formalitas pembentukan undang-undang dalam persetujuan Rancangan UU Cipta Kerja oleh pemerintah serta mayoritas fraksi di Badan Legislasi DPR RI dan di Rapat Paripurna DPR RI.
Baca: Polisi Kembali Tangkap 40 Remaja yang Hendak Ikut Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja Hari Ini
Dia menyoroti saat pengambilan keputusan tingkat I di Baleg dan tingkat II di Rapat Paripurna draft utuh dan final RUU tersebut belum dibagikan ke semua fraksi. Tetapi anehnya semua fraksi di DPR sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Meski ada dua fraksi, yaitu PKS dan Demokrat yang menolak untuk meneruskan rapat paripurna, tetap saja RUU itu diteruskan. Namun, HNW menegaskan kembali bahwa tidak ada draft akhir Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dibagikan sebelumnya kepada setiap fraksi maupun anggota DPR.
Baca: Singgung Kekurangan UU Cipta Kerja, Politikus Hanura: Adakah Analisis Dampak Regulasinya?
"Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi ‘dipaksa’ untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draft secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu. Begitu terburu-burunya, sehingga jadwal pengesahan RUU dalam rapat paripurna DPR pun mendadak dimajukan, dari tanggal 8 menjadi tanggal 5 september. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa dibalik ini semuanya?" kata HNW, melalui keterangannya, Kamis (8/10/2020).
Oleh karena tidak terpenuhinya asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal itu, HNW menilai wajar sikap Fraksi PKS dan Partai Demokrat menolak untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut ke Rapat Paripurna dan menolak menyetujui RUU itu menjadi UU Cipta Kerja.
Baca: Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja Berujung Ricuh, Seorang Mahasiswa PMII Bekasi Alami Gegar Otak
Di sisi lain, konstitusi menyatakan Indonesia merupakan negara hukum dan kekuasaan legislasi berada di tangan DPR RI melalui fraksi-fraksi, alat kelengkapan dewan dan anggota-anggota DPR.
Karena itu, HNW menilai seharusnya setiap fraksi yang merupakan elemen penting di dalam DPR diberikan akses seluas-luasnya dalam pembahasan suatu RUU, termasuk menerima draft utuh RUU yang akan dibahas atau akan diputuskan, sebelum diminta menyiapkan dan menyampaikan pendapat mini maupun pendapat akhir.
HNW menambahkan kebiasaan ketatanegaran atau konvensi dalam penyusunan rancangan undang-undang adalah setiap fraksi dikirimi draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas.
Sehingga, lanjutnya, pendapat mini apalagi pendapat akhir yang akan disampaikan pada pembicaraan akhir tingkat pertama (sebelum dibawa ke rapat paripurna) maupun pada tingkat akhirnya dalam rapat Paripurna DPR, dapat dilakukan secara benar, maksimal dan komprehensif.
“Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan thd Omnibus RUU Cipta Kerja. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini,” jelasnya.
Bahkan, kebiasaan tersebut juga sejalan dengan Pasal 163 huruf c dan e Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Ketentuan tersebut menyebutkan pada pengambilan keputusan tingkat I terdapat ada acara pembacaan naskah akhir rancangan undang-undang dan penandatanganan naskah rancangan undang-undang.
Sementara dari segi substansi, Wakil Ketua MPR RI itu menuturkan banyak substansi dalam RUU itu yang bermasalah, terutama terkait isu investasi asing yang seakan menjadi fokus utama RUU ini.
"Masalah investasi di Indonesia sebenarnya bukan soal perubahan regulasi, tetapi mengenai merajalelanya KKN dan inefisiensi birokrasi. Itu seharusnya jadi prioritas yang difokuskan oleh Pemerintah,” kata dia.