UU Cipta Kerja
Pengesahan UU Cipta Kerja Tuai Penolakan Publik, Ini Sikap MUI, PBNU, dan Muhammadiyah
Majelis Ulama Indonesia MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dan PP Muhammadiyah memberikan pernyataan sikap terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.
7. Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.
Sentralisasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.
Selain itu, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal.
Kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian.
Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas.
8. Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa.
9. Semoga Allah selalu melindungi dan menolong bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Muhammadiyah
PP Muhammadiyah menegaskan, sejak awal Muhammadiyah meminta agar pemerintah membatalkan pembahasan omnibus law undang-undang cipta kerja.
Muhammadiyah beralasan, bangsa sedang menghadapi masa pandemi Covid-19, serta banyaknya pasal yang kontroversial di masyarakat.
"RUU tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat, padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat. Tetapi, DPR jalan terus. UU Omnibus tetap disahkan," jelas Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangannya yang diterima, Rabu (7/10/2020).
PP Muhammadiyah pun meminta semua pihak untuk menahan diri dalam polemik pengesahan omnibus law undang-undang cipta kerja.
Mu'ti melanjutkan, jika keberatan masyarakat lebih baik menggugat pemerintah ke Mahkamah Konstitusi (MK) daripada melakukan demo di jalan.
Baca: Jurnalis Alami Kekerasan Saat Liput Demo UU Cipta Kerja, Arteria Dahlan: Aksi Kemarin Sudah Brutal
"Sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai sebuah realitas politik,"
"Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU dapat melakukan judicial review. Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru," kata dia.
Mu'ti menuturkan, sebelumnya usul Muhammadiyah dan beberapa organisasi yang mengelola pendidikan telah diakomodir oleh DPR.
Lima UU yang terkait dengan pendidikan sudah dikeluarkan dari Omnibus Cipta Kerja.
"Tetapi masih ada pasal terkait dengan perijinan yang masuk dalam Omnibus Cipta Kerja. Memang soal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Karena itu, Muhammadiyah akan wait and see bagaimana isi Peraturan Pemerintah," ungkapnya. (Tribunnews.com/ fahdi/ rina ayu)