RUU TPKS
Kawin Paksa dan Perbudakan Seksual Masuk Delik Pidana dalam RUU TPKS
Kawin paksa dan perbudakan seksual akan menjadi delik pidana dalam Rancangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Mekanisme restorative justice sendiri cukup rawan disalahgunakan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Eddy menyoroti khususnya dalam sebuah kasus kekerasan seksual yang melibatkan pelaku dengan finansial mapan.
Sementara di sisi lain korban kekerasan seksual berasal dari golongan yang tidak mampu.
Menurutnya, fenomena itu sudah sering terjadi di mana-mana.
Baca juga: Kantongi Izin Pimpinan DPR, Baleg Akan Bahas RUU TPKS Saat Masa Reses
"Korbannya orang tidak mampu. Diperkosa, dicabuli, segala macam dikasih uang selesai perkaranya, dianggap restorative justice, jadi itu enggak boleh," kata Eddy.
Selain itu, Eddy menyampaikan RUU TPKS mewajibkan pemberian restitusi untuk korban.
Majelis hakim, sebut Eddy, wajib menentukan besarnya restitusi kepada korban.
"Jadi bahasa di dalam RUU kita itu, selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi kepada korban," katanya.
Eddy menjamin RUU TPKS tidak berbenturan dengan UU yang telah ada.
RUU TPKS kata dia, bakal melengkapi UU yang sudah ada.
"UU TPKS tidak akan bertabrakan dengan UU lainnya. Kita sandingkan dengan berbagai aturan baik dengan yang ada adalah RUU KUHP. Ada TPPO, Pencegahan Kekerasan Rumah Tangga sehingga tidak mungkin tumpang tindih, kita sandingkan UU eksisting, UU Perlindungan Anak. Ditambah RUU KUHP. Semua dimasukkan dalam RUU TPKS jadi tidak mungkin tumpang tindih. Dia lebih titik beratkan pada hukum acara," kata Eddy.
Eddy juga berkata bahwa tidak ada hubungannya terkait hubungan seksual atas persetujuan korban diperbolehkan di RUU TPKS seperti di Permendikbud 30/2021.
Secara substansi, RUU TPKS yang merupakan inisiatif DPR tersebut lebih menitikberatkan pada hukum acara.
Hal itu dilatarbelakangi temuan 6.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Komnas HAM.
"Mirisnya, dari ribuan kasus tersebut, kurang dari 300 kasus yang bisa dijadikan kenyataan perkara atau sampai sampai ke pengadilan. Dengan kata lain, kurang dari 5 persen kasus yang bisa naik ke meja hijau," ujarnya.
Artinya, kata Eddy, ada sesuatu yang salah dengan hukum acara di Indonesia sehingga dari 6.000 kasus kekerasan seksual yang terjadi, kurang dari 300 kasus yang bisa diproses hukum.