Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK Baru, Pernah Usulkan Restorative Justice bagi Koruptor
Johanis Tanak resmi dilantik sebagai Wakil Ketua KPK yang baru menggantikan Lili Pintauli. Ia adalah orang yang usul restorative justice bagi koruptor
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Sri Juliati
Pengembalian uang negara ini, katanya, dapat membuat pembangunan negara dapat berlanjut.
Sehingga Johanis berharap pelaku tindak pidana korupsi itu mau mengembalikan uang yang diambil.
Kemudian, Johanis mengatakan pelaku juga bisa dikenakan denda dua hingga tiga kali lipat dari jumlah nominal korupsi yang dilakukan.
Ketika dapat mengembalikan uang sekaligus denda yang dijatuhkan maka pelaku tidak perlu untuk diproses secara hukum.
“Begitu juga ketika penindakan. Jadi ketika sudah ada restorative justice, dia bisa mengembalikan, kita tidak proses. Tapi mengembalikan tidak sejumlah yang dikorupsi, tetapi dua kali lipat atau tiga kali lipat dia mengembalikan,” jelasnya.
Johanis menganggap ketika proses hukum terhadap pelaku masih berjalan, maka negara pun akan tetap mengalami kerugian.
“Karena ketika dia diproses secara hukum, seperti yang saya sampaikan tadi, maka kerugian keuangan negara akan bertambah, bukan berkurang,” tukasnya.
Hanya Opini

Setelah dilantik dan ditanyai kembali soal restorative justice kepada koruptor, Johanis menganggap itu hanya opini semata.
“Itu kan cuma opini, bukan aturan. Tapi pandangan sebagai akademisi tentunya bisa saja. Tapi bagaimana realisasinya tentunya nanti lihat aturan,” tuturnya dikutip dari Kompas.com.
Ia pun mengungkapkan komitmennya sebagai salah satu pimpinan KPK yaitu melaksanakan tugas sesuai peraturan perundangan.
“Kalau kita mengatakan melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku, tentunya tidak akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan,” tegasnya.
Baca juga: MAKI Soroti Usulan Johanis Tanak soal Restorative Justice: Koruptor Harus Dipidana
Pada kesempatan yang sama, Firli pun juga menanggapi usulan restorative justice dari Johanis.
Senada dengan Johanis, dia menegaskan pihaknya tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam penanganan kasus korupsi.
“Kalaupun ada hal-hal lain, pendapat itu bisa-bisa saja dibahas. Tetapi tetap saja kita berpedoman kepada asas bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kita laksanakan kecuali karena ketentuan, prosedur, mekanisme, dan syarat yang diatur peraturan perundang-undangan,” tegas Firli.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Chaerul Umam)(Kompas.com/Ardito Ramadhan/Dian Erika Nugraheny)