Pemilu 2024
Soal Sistem Pemilu, PDIP Ingatkan Peristiwa 2008 dan Sebut SBY Tak Memahami Jas Merah
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto merespons soal kritikan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang menyinggung soal sistem pemilu.
Penulis:
Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, LEBAK - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons soal kritikan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang menyinggung soal sistem pemilu.
Di mana, SBY menyebut ada upaya mengganti sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Padahal, kata SBY, tidak ada kegentingan yang terjadi di tanah air yang mengharuskan mengganti sistem Pemilu.
Hasto secara tegas menyampaikan bahwa SBY yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat lupa akan perjalanan partainya dan kejadian pada Desember 2008 jelang Pemilu 2009 lalu.
“Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review," kata Hasto saat menjawab pertanyaan awak media di Lebak, Banten, Minggu (19/2/2023).
"Dan itu hanya beberapa bulan, sekitar 4 bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” sambung dia.
Baca juga: SBY: Rakyat Sungguh Perlu Diberi Penjelasan Tentang Rencana Penggantian Sistem Pemilu
Hasto pun mengungkapkan, itu adalah strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan mencapai 300 persen.
“Sehingga dengan melakukan segala cara akhirnya Partai Demokrat mengalami kenaikan 300 persen, bayangkan dengan PDI perjuangan yang ketika berkuasa, kenaikannya hanya 1,5 persen, sehingga mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” papar Hasto.
Dia menjelaskan, judical review yang sekarang berbeda dengan yang dilakukan pada 2008.
“Judical review sekarang tidak dilakukan oleh partai karena PDI Perjuangan juga tidak punya hak, tidak punya legal standing untuk melakukan judicial review. Ini dilakukan oleh beberapa pakar yang melihat bahwa dengan demokrasi proporsional terbuka yang dicanangkan oleh pada jaman Pak SBY tersebut, yang terjadi ternyata liberalisasi politik yang luar biasa yang menyulitkan kami untuk mencalonkan rektor, untuk mencalonkan akademisi, untuk mencalonkan pakar untuk mencalonkan budayawan, untuk mencalonkan tokoh-tokoh betawi, untuk mencalonkan tokoh-tokoh nelayan,” ungkap Hasto.
Baca juga: Soal Sistem Pemilu, Mardiono: Mau Proporsional Terbuka Atau Tertutup, PPP Selalu Siap
Dia menuturkan, proporsional terbuka yang dilakukan masa SBY membuat partai digerakkan kekuatan kapital.
“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Judical review saat itu dilakukan hanya beberapa bulan menjelang pemilu, berbeda dengan sekarang karena komitmen untuk mengembalikan sistem politik pada Pancasila,” kata Hasto.
Karena itu, Hasto pun mengingatkan, jika ada undang-undang hanya untuk kepentingan partai, maka ada etika yang dilanggar.
“Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” pungkasnya.
Baca juga: Cak Imin Tak Ingin Sistem Proporsional Terbuka Diubah Menjelang Pemilu
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.