Minggu, 24 Agustus 2025

Pemilu 2024

Soal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka atau Tertutup, Bamsoet Setuju Indonesia Ikuti Jerman

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet, berbicara soal sistem proporsional pada Pemilu di 2024.

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Naufal Lanten
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet saat ditemui selepas peresmian Gedung Sekretariat Graha PENA 98 di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/2/2023). Bamsoet menilai bahwa Indonesia akan lebih baik jika mengikuti sistem Pemilu yang dilaksanakan di Jerman, yakni kombinasi antara sistem proporsional terbuka dan tertutup. 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo atau akrab disapa Bamsoet, berbicara soal sistem proporsional pada Pemilu di 2024.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi masih menggelar Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait sistem proporsional tebuka.

Bamsoet menilai bahwa Indonesia akan lebih baik jika mengikuti sistem Pemilu yang dilaksanakan di Jerman, yakni kombinasi antara sistem proporsional terbuka dan tertutup.

“Yang terbaik menurut saya sih kita kombinasi daripada 2 sistem itu seperti yang berlaku di Jerman,” kata Bamsoet saat ditemui selepas peresmian Gedung Sekretariat Graha PENA 98 di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/2/2023).

Ia menambahkan bahwa wacana sistem proporsional yang kombinasi ini pernah dibahas saat dirinya menjadi ketua DPR RI.

Namun, wacana tersebut tidak dibahas lebih lanjut.

Baca juga: Soal Sistem Pemilu, Mardiono: Mau Proporsional Terbuka Atau Tertutup, PPP Selalu Siap

Di sisi lain, ia melihat bahwa sistem proporsional terbuka atau tertutup memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Dalam sistem proporsional tertutup, kata Bamsoet, memungkinkan para kader yang kurang terlihat untuk bersaing dengan kader lain yang lebih memiliki logistik lebih banyak.

“Dengan sistem tertutup partai harus menyiapkan uang yang besar agar dapat merebut kursi yang banyak,” katanya.

Sementara pada sistem proporsional terbuka, partai politik menyerahkan sepenuhnya perihal pendanaan kepada para kader.

Baca juga: Akan Banyak Anak Muda Kecewa dan Golput Jika Sistem Proporsional Tertutup Diterapkan di Pemilu

Meski demikian, kata dia, memiliki logistik yang besar bukan jaminan bahwa kader tersebut kompeten menjadi pemimpin.

“Tapi tidak menjamin kader-kader yang berdarah-darah selama ini yang memiliki kualitas yang bagus tapi tidak memiliki uang bisa jadi (anggots legislatif),” kata Bamsoet.

Tak Relevan

Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, aturan mengenai presidensial threshold 20 persen sudah tidak relevan diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu).

Ia mengatakan, sejak Pemilu 2019, aturan tersebut tidak begitu bisa direalisasikan lagi.

Hal itu dikarenakan Pemilu legislatif dan Pilpres digelar dalam waktu bersamaan.

"Alasannya karena Pemilu kita serentak kan. Kalau serentak maka untuk apa presidensial threshold," kata Pangi, saat dihubungi, Minggu (19/2/2023).

"Sementara pada Pemilu yang sekarang, presidensial threshold yang dipakai adalah Pemilu 5 tahun lalu. Kalau begitu tentu sudah robek tiketnya," sambung Pangi.

Baca juga: Perludem: Presidential Threshold Nol Persen Dorong Kaderisasi dan Rekrutmen Politik yang Demokratis

Kemudian, Pangi mengatakan, aturan PT 20 persen juga tidak terlalu penting untuk diterapkan, karena tidak ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

"Itu (aturan PT 20 persen) hanya dijadikan bagian untuk pengkondisian saja. Pengkondisian dalam konteks ini adalah presiden yang terpilih itu sesuai dengan selera dari oligarki," katanya.

Dengan diterapkannya PT 20, ia menjelaskan, orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi tidak bisa menjadi calon presiden (capres) hanya karena tidak dapat diusung oleh partai politik.

Baca juga: Masinton Pasaribu: Idealnya Penuhi Syarat Presidential Threshold Dulu, Baru Munculkan Capres

"Sehingga memang suara aspirasi demokrasi kita agak terganggu ya. Karena di dalam demokrasi itu semangatnya adalah bagaimana menyerap aspirasi dari bawah, sehingga muncul calon-calon presiden terbaik," jelas Direktur Eksekutif Voxpol Center Reasearch and Consulting itu.

Pangi juga mengatakan, jika presiden ditentukan oleh partai politik semata, maka varian menu (kandidat) yang disajikan ke publik sangat terbatas.

"Dengan konteks itu belum tentu sesuai dengan selera masyarakat kelas bawah," ucapnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengungkapkan bahwa partainya mendukung sistem presidential threshold nol persen.

Menurut Viva Yoga hal itu agar kader-kader terbaik partai politik bisa mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

"Karena presidential threshold 20 persen itulah sehingga menyebabkan tidak seluruh kader partai terbaik mampu untuk bertarung dan dicalonkan. Di Prancis pemilu 2022 ada 12 pasangan calon. Korea Selatan ada 14, Brazil tahun 2018 ada 18 pasangan calon. Jadi sangat banyak," kata Viva Yoga dalam diskusi Trust Indonesia: Buru-buru Berburu Tiket Capres dan Cawapres, Jakarta Pusat, diktip Rabu (15/2/2023).

Baca juga: Tak Kunjung Dideklarasikan Koalisi Perubahan, Anies Baswedan Didesak Gugat Presidential Threshold

Viva Yoga melanjutkan pasangan calon presiden banyak itu akan memberikan banyak alternatif bagi masyarakat untuk memilih.

"Maka dari itu presidential threshold harus nol persen. Kemudian kalau presidential threshold nol persen akan banyak tunas-tunas muda dari kader partai politik yang lolos di parliamentary punya kesempatan untuk mencalonkan meskipun tidak seluruhnya tergantung kepada popularitas, elektabilitas dan isi tas," jelasnya.

Menurut Viva Yoga dengan aturan sistem Presidential Threshold 20 persen tidak semua kader bisa mencalonkan diri.

"Jadi dengan format pemilu presiden seperti ini maka kemudian tidak seluruh kader partai di DPR tidak bisa mencalonkan diri jadi sangat wajar," jelasnya.

Viva Yoga berharap untuk bisa memfungsikan partai politik untuk mampu lahirkan kader-kader bangsa.

Menyebut ada baiknya presidential threshold nol persen.

"Ke depannya untuk memfungsikan partai politik sebagai lembaga negara yang mampu melakukan produksi kader-kader bangsa sebaiknya presidential threshold nol persen. Kalau kemudian 10 pasangan calon, masyarakat ini sudah terbiasa untuk berbeda pilihan dan pendapat," katanya.

Sekadar informasi, untuk bisa mengusung Capres dan Cawapres, satu partai politik atau gabungan partai politik harus bisa memenuhi syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen jumlah kursi di DPR.

Hal itu sesuai bunyi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Untuk itu, partai politik yang tidak memenuhi syarat 20 persen kursi DPR, tentunya harus berkoalisi untuk bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres.

Berdasarkan hasil Pemilu 2019, dapat dirinci perolehan kursi 9 partai politik di DPR.

Berikut rincan perolehan kursi 9 Partai Politik di DPR RI:

PDIP: 128 kursi atau 22,26 persen

Golkar: 85 kursi atau 14,78 persen

Gerindra: 78 kursi atau 13,57 persen

Nasdem: 59 kursi atau 10,26 persen

PKB: 58 kursi atau 10,09 persen

Demokrat: 54 kursi atau 9,39 persen

PKS: 50 kursi atau 8,70 persen

PAN: 44 kursi atau 7,65 persen

PPP: 19 kursi atau 3,3 persen.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan