Kamis, 21 Agustus 2025

DPR Minta MK Tolak Permohonan Uji Materiil UU Kejaksaan Tipikor dan KPK

DPR meminta Mahkamah menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (Legal Standing) sehingga permohonan a quo sehingga tidak bisa diterima

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Eko Sutriyanto
Tribunnews/Rahmat Fajar Nugraha
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman yang menjadi perwakilan DPR RI saat memberikan keterangan secara daring di persidangan, Rabu (17/5/2023). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman yang menjadi perwakilan DPR RI saat memberikan keterangan secara daring di persidangan, Rabu (17/5/2023).

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.”

“Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan,” ucap Habiburokhman dalam petitumnya.

DPR, kata dia, juga meminta Mahkamah menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (Legal Standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

MK juga diminta menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 Ayat (4) dan Ayat (5) UU, dan Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) UU KPK tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, DPR juga memerintahkan pemuatan putusan tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Baca juga: Gerindra Sambut PAN di Kertanegara Sore Ini, Habiburokhman: Bagian dari Ikhtiar Perbesar Koalisi

“Apabila Yang Mulia Hakim Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono,” tuturnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Gugatan dengan perkara nomor 28/PUU-XXI/2023 ini menyoroti Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ pada UU KPK.

Sidang yang beragendakan mendengar keterangan DPR RI ini digelar pada Rabu (17/5/2023), dan dipimpin langsung Ketua MK Anawar Usman yang didampingi 8 hakim konstitusi lainnya.

Perwakilan DPR RI Habiburokhman mengatakan pemohon dalam perkara ini tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.

“DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing),” kata Habiburokhman yang hadir secara virtual, Rabu.

Anggota Komisi III DPR RI ini menyebutkan bahwa pemohon tidak memenuhi Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.

Pemohon, kata dia, juga tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 

“Namun demikian, terhadap kedudukan hukum Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan pengujian Pasal-Pasal a quo UU Tipikor, UU KPK, dan UU Kejaksaan terhadap UUD NRI Tahun 1945,” tuturnya.

Pemohon sebelumnya telah mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 

DPR beranggapan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang mengatur hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum justru teraktualisasikan dalam Pasal a quo yang mengatur mengenai kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam hal proses penyidikan atas kasus-kasus pidana khususnya tindak pidana korupsi. 

Menurut dia, pemohon bukan pihak yang terkait langsung dengan UU a quo karena Pemohon bukanlah Penyidik Jaksa, Penyidik Kepolisian, ataupun Penyidik KPK. 

“Oleh karena itu secara yuridis, tidaklah berdasar jika Pemohon berkedudukan sebagai Pihak dalam perkara permohonan a quo, yang jelas-jelas tidaklah memenuhi kualifikasi sebagai Pihak dalam perkara permohonan pengujian UU a quo,” tuturnya.

Baca juga: Gerindra Teratas di Survei, Habiburokhman: Tak Lepas dari Kerja Prabowo

Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon maka tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar, dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo. 

“Selain itu, kerugian yang didalilkan Pemohon hanya merupakan dugaan/asumsi Pemohon belaka tanpa ada keterkaitannya dengan diri Pemohon,” tuturnya.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. 

Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mendalilkan sejumlah pasal yang diujikan tersebut inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

Dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.

Sementara itu, pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. 

Karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. 

Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.

Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. 

Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. 

Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.

Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan