Minggu, 7 September 2025

Driver Ojol Demonstrasi

Ojol Disarankan Pertimbangkan Ulang Soal Tuntutan Legalitas Status, Pakar Ungkap Deretan Dampaknya

Ia mengatakan tuntutan kalangan ojek daring (ojol) yang menuntut adanya legalitas status atas pekerjaannya perlu ditimbang ulang.

Tribunnews/JEPRIMA
Pengemudi ojek online (ojol) dan kurir yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON) serta Asosiasi Driver Online (ADO) akan menggelar aksi demonstrasi di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (29/8/2024). Aksi tersebut menyampaikan sejumlah tuntutan di antaranya meminta pemerintah untuk melegalkan ojek daring dan menuntut revisi serta penambahan Pasal Permenkominfo No 1 Tahun 2012 tentang layanan tarif pos komersial untuk mitra ojek daring dan kurir di Indonesia lebih rinci. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya, Budi Santoso mengatakan tuntutan kalangan ojek daring (ojol) yang menuntut adanya legalitas status atas pekerjaannya perlu ditimbang ulang.

Pasalnya status itu bisa saja justru merugikan pengemudi ojol. Sebab ada konsekuensi yang perlu dipertimbangkan.

Misalnya, siap dirumahkan jika bisnis sedang tidak bagus dan terpaksa ada pengurangan tenaga kerja.

“Jika statusnya hubungan kerja, maka para pengemudi ojol juga harus siap dengan konsekuensinya. Seperti harus siap dirumahkan jika bisnis sedang tidak bagus dan terpaksa ada pengurangan tenaga kerja,” kata Budi kepada wartawan, Senin (9/9/2024).

Secara praktik, kata Budi, sejatinya sudah ada platform perusahaan kurir atau pengantaran barang yang status pengemudinya adalah pekerja.

“Namun karena bisnis sedang tidak baik, belum lama ini dia melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah sumber daya manusia (SDM)-nya. Itu juga harus jadi pertimbangan para pengemudi ojol ketika mengajukan tuntutan,” ucapnya.

Selain itu, jika status ojol diformalkan, maka aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja juga memiliki hak dalam menentukan atau meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya.

Misalnya saja dari sisi usia pekerja maksimal 30 tahun. Padahal saat ini, banyak pengemudi ojol yang berusia di atas 40 tahun.

“Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain,” jelas Budi.

Oleh karenanya menurut Budi, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik ketimbang menuntut status yang lebih terikat.

Terlebih ojol sebagai pekerja gig memiliki waktu yang fleksibel dalam mengatur jam kerja.

“Saat ini dari sisi legalaitas ojol itu sudah legal dan ada di Peraturan Kementerian Perhubungan (Permenhub). Hanya saja memang saat ini dalam Permenhub belum dijelaskan secara tegas hubungan antara pengemudi ojol dengan aplikator, apakah merupakan kemitraan atau hubungan kerja,” ungkapnya.

Budi memahami sebenarnya yang mendasari tuntutan pengemudi ojol dikarenakan faktor pendapatan mereka yang menurun.

“Masih ingat dulu banyak pekerja formal yang resign dan beralih menjadi ojol karena pendapatannya besar dan waktu kerja yang fleksibel. Namun saat ini situasinya berbeda. Sekarang dengan semakin bertambahnya jumlah ojol, maka potensi pendapatan ojol jadi lebih sedikit. Jadi menurut saya ini wajar. Dan jika sekarang jumlah ojol dibatasi, mereka juga pasti akan demo,” tuturnya.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan