Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Sosok Hakim Djuyamto yang Tolak Praperadilan Hasto Vs KPK, Tanggapi Status Tersangka Sekjen PDIP
Inilah sosok Hakim Djuyamto, hakim tunggal yang menolak praperadilan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.
Penulis:
garudea prabawati
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Gugatan praperadilan yang diajukan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Kamis (13/2/2025) kemarin.
Diketahui gugatan praperadilan Hasto ini soal status tersangkanya yang ditetapkan KPK terkait kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus Eks Politisi PDIP, Harun Masiku.
Dalam sidang praperadilan Hasto Vs KPK, Hakim Djuyamto menjadi hakim tunggal.
Djuyamto pun menjadi sorotan lantaran usai menolak praperadilan Hasto.
Lantas siapakah sosok Hakim Djuyamto?
Hakim Djuyamto merupakan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).
Pria kelahiran 18 Desember 1967 ini merupakan ASN dengan golongan Pembina Utama Madya (IV/d), mengutip pn-jakartaselatan.go.id.
Dirinya kini tengah mengejar gelar Doktor atau Strata 3 (S3) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Dirinya memproses karya ilmiah disertasi berjudul ‘Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif’,
Disertasinya dipaparkan dalam sidang terbuka promosi di Aula Gedung 3 (Gedung Amiek Sumindriyatmi) UNS Solo, Jumat (31/1/2025).
Djuyamto juga menyebutkan agar majelis hakim bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi jika dalam persidangan terbukti memiliki keterlibatan.
Baca juga: Hakim Djuyamto Ungkap Alasannya Tolak Praperadilan Hasto, Singgung soal Penggabungan Dua Perkara
Alasan Praperadilan Hasto Ditolak
Djuyamto menyatakan seharusnya permohonan praperadilan Sekjen PDIP itu dilakukan secara terpisah.
Hal itu dikarenakan Hasto telah ditetapkan tersangka dugaan tindak pidana perintangan penyidikan dan dugaan tindak pidana memberi janji atau hadiah atau suap kepada penyelenggaran negara oleh KPK.
"Menimbang berdalih alasan tersebut hakim berpendapat permohonan pemohon seharusnya diajukan dalam dua permohonan praperadilan. Bukan dalam satu permohonan," kata Hakim Djuyamto di persidangan PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
Dengan demikian permohonan pemohon yang menggabungkan tentang sah tidaknya dua surat perintah penyidikan, atau setidaknya penetapan tersangka dalam satu permohonan haruslah dinyatakan tidak memilih syarat formil permohonan praperadilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.