Selasa, 30 September 2025

Prof Hikmahanto Ingatkan Pemerintah Mampu Tegakkan Kedaulatan di Tengah Berbagai Intervensi Asing

Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penyeragaman kemasan produk tembakau menuai polemik.

dok pribadi
INTERVENSI ASING - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana. Ia memperingatkan pemerintah Indonesia agar mampu menegakkan kedaulatannya dari berbagai upaya intervensi internasional, termasuk dalam pembuatan kebijakan dalam negeri. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penyeragaman kemasan produk tembakau menuai polemik setelah muncul dugaan regulasi itu mengacu pada perjanjian internasional, Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Padahal Indonesia belum meratifikasi aturan yang dirancang di bawah naungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu, untuk alasan melindungi jutaan masyarakat yang bergantung pada seluruh mata rantai industri hasil tembakau. 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana memperingatkan pemerintah Indonesia agar mampu menegakkan kedaulatannya dari berbagai upaya intervensi internasional, termasuk dalam pembuatan kebijakan dalam negeri.

"Pemerintah harus memiliki kebebasan dan kedaulatan harus ditegakkan," kata Prof Hikmahanto, Kamis (6/3/2025).

Sebab menurutnya, pada era saat ini cenderung dilakukan dengan menggunakan perjanjian internasional, bukan lagi penggunaan alat kolonialisme.

"Di era sekarang, intervensi sudah tidak bisa menggunakan alat kolonialisme. Saat ini, intervensi dilakukan melalui perjanjian internasional," jelas dia.

Sementara itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, mengatakan industri tembakau di Indonesia memiliki ekosistem yang kompleks, melibatkan petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang eceran. Kebijakan yang mengadopsi FCTC tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor lain disebutnya jadi bentuk ketidakpedulian pemerintah. 

“Mereka harus duduk bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Keuangan. Ini masalah kompleks yang melibatkan banyak sektor," jelas Widyanta.

Di sisi lain Widyanta melihat FCTC merupakan bagian dari pertarungan geopolitik dan ekonomi global yang memiliki tujuan membatasi industri tembakau di banyak negara.

Widyanta melihat pemerintah Indonesia tak membaca ini sebagai sebuah pertarungan geopolitik-ekonomi. Terlebih wacana kebijakan ini tidak memiliki basis undang - undang yang jelas.

"Mereka sudah mengatur bahkan sampai penghilangan merek rokok, padahal belum ada basis perundangan yang jelas," tegasnya.

Ia memperingatkan penerapan plain packaging dapat memicu masalah lain, seperti maraknya rokok ilegal yang angkanya tiap tahun terus bertambah. 

Sebab berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang pada 2023. Sementara pada 2024 jumlahnya meningkat 10 juta batang. 

Dampak ini yang menurutnya seyogianya diperhatikan sebagai masalah serius karena industri tembakau punya kompleksitas dan banyak pihak yang terdampak.

“Sehingga perlu berhati-hati karena ini mencakup penghidupan bagi banyak warga negara kita. Negara itu harus memikirkan kompleksitas industri tembakau, antar Kementerian harus duduk bersama agar ini jangan menjadi invasi tersendiri. Ada sektor lain yang harus dipikirkan, bukan hanya satu sektor saja,” pungkas Widyanta.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved