Jumat, 3 Oktober 2025

Revisi UU TNI

Pasal-pasal Revisi UU TNI yang Berpotensi Kembalikan Dominasi Militer Menurut YLBHI

YLBHI menolak revisi UU TNI yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti terjadi di masa Orde Baru.

|
dok. UIN Jakarta
KHAWATIRKAN DWIFUNGSI ABRI - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. YLBHI menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti terjadi di masa Orde Baru. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI seperti terjadi di masa Orde Baru.

"YLBHI dengan tegas menolak revisi UU TNI yang akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Minggu (16/3/2025).

YLBHI menilai revisi ini bertentangan dengan agenda reformasi yang menegaskan TNI harus tetap profesional sebagai alat pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan politik, ekonomi, dan hukum.

Dalam draf revisi, terdapat sejumlah pasal yang dianggap bermasalah karena berpotensi mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil. Setidaknya ada empat poin utama yang menjadi perhatian YLBHI.

1. Memperpanjang Masa Pensiun, Menambah Penumpukan Perwira Non-Job, dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil

Draf revisi Pasal 71 mengusulkan perpanjangan usia pensiun perwira TNI hingga 62 tahun.

Menurut YLBHI, hal ini berisiko menambah jumlah perwira non-job, yang dalam praktiknya sering kali dimobilisasi ke lembaga negara dan BUMN.

Akibatnya, profesionalitas dan efektivitas lembaga-lembaga tersebut terganggu.

Isnur menjelaskan, Ombudsman mencatat pada tahun 2020 terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan.

Di antaranya 27 anggota TNI aktif dan 13 anggota Polri aktif. Tren ini berlanjut dengan penunjukan Mayjen Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog serta perwira aktif lainnya di PT PINDAD, PTDI, dan PT PAL, yang bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004.

2. Perluasan Jabatan Sipil bagi Perwira TNI Aktif, Mengancam Supremasi Sipil, Profesionalisme, dan Independensi TNI

Draf Pasal 47 memperbolehkan perwira aktif menduduki jabatan di setidaknya 13 kementerian dan lembaga negara, termasuk Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Baca juga: Bahas Revisi UU TNI Diam-diam di Hotel Mewah, Pengamat: DPR Nggak Peka!

Padahal, sebelumnya aturan hanya memperbolehkan perwira aktif mengisi jabatan sipil di 10 lembaga yang relevan atau telah pensiun atau mengundurkan diri.

Meluasnya peran TNI di luar tugas pertahanan dinilai berisiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan melemahkan supremasi sipil.

"Hal ini sangat beresiko, mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut."

Baca juga: Usai Geruduk Rapat Revisi UU TNI, Aktivis KontraS Terima Telepon Tak Dikenal, Kantor Diduga Diteror

"Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum," ujar Isnur.

3. Membuka Ruang Campur Tangan Militer dalam Politik dan Keamanan Negara

Revisi UU memberi wewenang bagi TNI untuk mengisi posisi strategis di Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara. Ini membuka peluang intervensi militer dalam politik domestik dengan alasan menjaga stabilitas keamanan.

Langkah ini bertentangan dengan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengamanatkan TNI agar bersikap netral dalam politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Sebagai alat negara, TNI seharusnya mendukung demokrasi, menjunjung tinggi hukum, dan menghormati hak asasi manusia, bukan mengambil peran dalam pemerintahan sipil.

4. Menganulir Peran DPR dalam Pengambilan Keputusan Operasi Militer Selain Perang

Draf revisi Pasal 7 mengatur operasi militer selain perang, tetapi melemahkan mekanisme pengawasan oleh DPR. 

Dalam aturan sebelumnya, operasi ini memerlukan persetujuan DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat. Namun, draf baru mengizinkan pelaksanaan operasi cukup dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.

Pasal 7 ayat (4) menyebut bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang hanya membutuhkan regulasi dari eksekutif, kecuali untuk ayat tertentu.

Pasal Ini memberikan kekuasaan besar kepada presiden tanpa mekanisme check and balance, bertentangan dengan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang menegaskan bahwa kebijakan politik negara harus menjadi dasar bagi tugas TNI.

Rocky Gerung Curigai Pasal Selundupan

Pengamat politik Rocky Gerung menilai, rapat tertutup di hotel mewah dicurigai sebagai upaya menjauhi pelibatan publik.

"Apakah nanti juga akan ada semacam draft yang tidak diedarkan pada publik sehingga percakapan publik tidak dilibatkan dalam pembahasan," kata Rocky di channel Youtubenya, Rocky Gerung Official, tayang Sabtu (15/3/2025) kemarin.

Rocky juga menyoroti soal pelonggaran militer masuki jabatan sipil pada revisi UU TNI itu.

Hadir di Persidangan Haris-Fatia, Rocky Gerung: Pengetahuan Jaksa Soal Isu Lingkungan, Nol.
DUGAAN DRAFT TERTUTUP - Pengamat politik Rocky Gerung. Dia curiga pembahasan Revisi UU TNI oleh DPR yang tertutup karena ada dugaan draft pasal selundupan.

"Sekarang sedang juga dipersoalkan bahwa kesempatan militer untuk masuk kembali dalam wilayah sipil itu akan dilonggarkan."

"Padahal kita tahu bahwa justru karena ada problem di dalam sistem rekrutmen sipil maka seolah-olah hanya boleh diganti oleh militer. Kan seharusnya rekrutmen sipil itu yang dibuat lebih ketat kan," paparnya.

Muncul Usulan 16 kementerian/Lembaga Bisa Diisi TNI Aktif 

Dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI muncul usulan 16 kementerian dan lembaga yang dapat ditempati prajurit aktif.

Usulan tersebut muncul dalam pembahasan lanjutan saat rapat Panja Revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat yang digelar pada 14-16 Maret 2025.

Anggota Komisi I DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan (PDIP) TB Hasanuddin mengungkapkan 16 kementerian dan lembaga yang dapat ditempati prajurit aktif TNI berdasarkan revisi yang diusulkan.

Sebelumnya, berdasarkan Pasal 47 ayat 2 dalam UU TNI yang masih berlaku, hanya sepuluh kementerian/lembaga yang dapat ditempati oleh prajurit aktif.

Kemudian dalam pembahasan revisi UU TNI berkembang ada lima institusi baru yang ditambahkan di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, dan Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

TB Hasanuddin menjelaskan, dari pembahasan Panja RUU TNI hari ini, ditambahkan satu lagi institusi yang bisa dijabat prajurit TNI aktif, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI.

“Tadi juga didiskusikan itu ada penambahan. Yang pertama itu undang-undang nomor 34 tahun 2004, itu kan 10 (institusi). Kemudian, muncul dalam provisi itu adalah 5 (tambahan). Mungkin sudah tahu ya teman-teman,” kata TB Hasanuddin kepada wartawan, Sabtu (15/3/2025).

“Sekarang ada ditambah satu yaitu Badan (Nasional) Pengelola Perbatasan,” sambung dia.

TB mengatakan, tambahan institusi yang bisa dijabat prajurit TNI ini karena daerah perbatasan yang rawan dan selama ini telah dijabat prajurit TNI.

“Karena dalam Perpres itu dan dalam pernyataannya badan pengelola perbatasan yang rawan, berbatasan itu memang ada penempatan anggota TNI,” kata dia.

Revisi UU TNI Bahas Daftar Isian Masalah

Saat ini RUU TNI masuk tahap panitia kerja (Panja) membahas daftar inventarisasi masalah atau DIM.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto kepada wartawan di sela-sela rapat Panja bersama pemerintah di Hotel Fairmont Jakarta, Sabtu (15/3/2025).

“Kalau saya yang tidak pakai target, tetapi kalau memang hari ini selesai dan saya anggap dan kita semua sepakat sudah lebih dari cukup dan baik, ya kenapa tidak (disahkan pekan depan),” ujar Utut. 

Politikus PDIP ini berharap pembahasan DIM RUU TNI di tingkat Panja berjalan dengan lancar.

Sehingga, pembahasan bisa berlanjut di rapat kerja (Raker) perundingan tingkat 1 bersama para menteri.

Adapun, menteri yang ditugaskan di tingkat Raker yakni Menteri Hukum, Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan dan Menteri Sekretaris Negara.

“Kalau ini bisa selesai tuntas, saya tidak ingin ada yang gantung. Kalau ini semua tuntas kita Raker. Raker itu perundingan tingkat 1. Perundingan tingkat 1 itu antara Menteri yang ditugaskan dengan DPR,” kata Utut.

“Menteri yang ditugaskan ada 4. Menteri Hukum, itu yang soal peraturan perundangan. Menteri Keuangan yang kaitan dengan budget. Terus Menteri Pertahanan selaku usernya sendiri. Dan satu lagi, Menteri Sekretariat Negara,” sambungnya.

Utut menyebut, pengesahan RUU TNI ini pun tak menutup kemungkinan bakal dilakukan saat rapat paripurna pada masa sidang kali ini.

“Ya kalau memang menterinya siap, ini kan Undang-Undang dua sisi. Pak Safri (Menhan) pernah bilang dan itu di-stated sama dia, kalau bisa masa sidang ini,” ungkap Utut.

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved