Mahkamah Agung Akui Masih Banyak Hakim Beda Pandangan saat Tangani Perkara Kekerasan Seksual
Dalam penelitian tersebut ditemukan sejumlah hambatan yang sering muncul dalam penanganan korban tindak pidana, khususnya kekerasan seksual.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengakui masih banyak hakim yang memiliki pandangan berbeda saat menangani perkara kekerasan seksual.
Beberapa di antaranya bahkan menganggap remeh tindakan tersebut.
Hal itu disampaikan Hakim Agung, Ainal Mardhiah, dalam diskusi bertajuk “Tantangan Pemberian Restitusi: Implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2022” yang digelar secara daring, Rabu (19/3/2025).
Baca juga: BREAKING NEWS: MA Kabulkan PK Antam Versus Crazy Rich Surabaya, PK Budi Said Dibatalkan
Ainal menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022, salah satunya hasil penelitian American Bar Association Rule of Law Institute bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dalam penelitian tersebut ditemukan sejumlah hambatan yang sering muncul dalam penanganan korban tindak pidana, khususnya kekerasan seksual.
Baca juga: KY Buka Seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc HAM di Mahkamah Agung Tahun 2025
"Hambatan muncul, perbedaan perspektif dan sensitif gender di antara para hakim, perbedaan standar dan cara penilaian alat bukti, serta pemahaman dan pertimbangan faktor relasi kuasa antara korban dan pelaku," ujar Ainal.
Ia menegaskan, hambatan ini sangat memengaruhi proses penanganan kasus kekerasan seksual.
Ainal juga menambahkan, hingga kini masih ada hakim yang memiliki sudut pandang berbeda dalam memahami isu kekerasan seksual.
Perbedaan perspektif ini terutama terlihat dalam hal sensitivitas gender, di mana sebagian hakim belum sepenuhnya memahami atau menganggap penting konteks relasi kuasa dan dampak psikologis yang dialami korban.
Hal ini menurutnya menjadi salah satu tantangan besar dalam upaya memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
“Kadang-kadang masih ada yang perbedaan perspektif sensitif gender di antara para hakim terhadap perkara-perkara yang berkenaan dengan kekerasan seksual," ungkap Ainal.
"Misalnya begini, ada yang perkarannya misalnya terdakwa, maaf ya menyampaikan memegang tubuh korban, lalu ada juga hakim yang menyampaikan 'ah cuma pegang begitu saja, kok berat hukumannya'," tambahnya.
Untuk itu, MA telah melakukan sosialisasi Perma Nomor 1 Tahun 2022 ke seluruh pengadilan daerah. Diharapkan, aturan ini dapat mendorong pemulihan hak korban kekerasan seksual.
"Sosialisasi Perma tersebut semua itu dalam rangka untuk mengupayakan pemulihan bagi korban tindak pidana khususnya kekerasan seksual," kata Ainal.
Baca juga: Pakar Hukum Siap Hadapi Crazy Rich Surabaya Jika Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
"Nah diharapkan hakim memberikan keputusan yang tidak hanya menghukum pelaku tetapi juga memulihkan hak-hak korban," tuturnya.
Mantan Hakim PTUN Teguh Setia Bhakti Gugat Aturan Rumah Subsidi ke MA |
![]() |
---|
Pengadilan Negeri Jaksel: Sidang PK Silfester Matutina Berpotensi Gugur Jika Tidak Hadiri Langsung |
![]() |
---|
Ketua MA: Aparatur yang Sejahtera akan Lebih Tahan Godaan Suap |
![]() |
---|
Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Hakim Agung Dijadwalkan Mulai 9 September 2025 |
![]() |
---|
Mahkamah Agung di Australia Tegur Pengacara yang Pakai AI untuk Nota Pembelaan: Banyak Fiktifnya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.