Minggu, 7 September 2025

Mahkamah Agung Akui Masih Banyak Hakim Beda Pandangan saat Tangani Perkara Kekerasan Seksual

Dalam penelitian tersebut ditemukan sejumlah hambatan yang sering muncul dalam penanganan korban tindak pidana, khususnya kekerasan seksual.

mahkamahagung.go.id
MAHKAMAH AGUNG - Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, belum lama ini. MA mengakui masih banyak hakim yang memiliki pandangan berbeda saat menangani perkara kekerasan seksual. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengakui masih banyak hakim yang memiliki pandangan berbeda saat menangani perkara kekerasan seksual.

Beberapa di antaranya bahkan menganggap remeh tindakan tersebut.

Hal itu disampaikan Hakim Agung, Ainal Mardhiah, dalam diskusi bertajuk “Tantangan Pemberian Restitusi: Implementasi Perma Nomor 1 Tahun 2022” yang digelar secara daring, Rabu (19/3/2025).

Baca juga: BREAKING NEWS: MA Kabulkan PK Antam Versus Crazy Rich Surabaya, PK Budi Said Dibatalkan

Ainal menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2022, salah satunya hasil penelitian American Bar Association Rule of Law Institute bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dalam penelitian tersebut ditemukan sejumlah hambatan yang sering muncul dalam penanganan korban tindak pidana, khususnya kekerasan seksual.

Baca juga: KY Buka Seleksi Calon Hakim Agung dan Calon Hakim Ad Hoc HAM di Mahkamah Agung Tahun 2025

"Hambatan muncul, perbedaan perspektif dan sensitif gender di antara para hakim, perbedaan standar dan cara penilaian alat bukti, serta pemahaman dan pertimbangan faktor relasi kuasa antara korban dan pelaku," ujar Ainal.

Ia menegaskan, hambatan ini sangat memengaruhi proses penanganan kasus kekerasan seksual.

Ainal juga menambahkan, hingga kini masih ada hakim yang memiliki sudut pandang berbeda dalam memahami isu kekerasan seksual

Perbedaan perspektif ini terutama terlihat dalam hal sensitivitas gender, di mana sebagian hakim belum sepenuhnya memahami atau menganggap penting konteks relasi kuasa dan dampak psikologis yang dialami korban. 

Hal ini menurutnya menjadi salah satu tantangan besar dalam upaya memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

“Kadang-kadang masih ada yang perbedaan perspektif sensitif gender di antara para hakim terhadap perkara-perkara yang berkenaan dengan kekerasan seksual," ungkap Ainal.

"Misalnya begini, ada yang perkarannya misalnya terdakwa, maaf ya menyampaikan memegang tubuh korban, lalu ada juga hakim yang menyampaikan 'ah cuma pegang begitu saja, kok berat hukumannya'," tambahnya.

Untuk itu, MA telah melakukan sosialisasi Perma Nomor 1 Tahun 2022 ke seluruh pengadilan daerah. Diharapkan, aturan ini dapat mendorong pemulihan hak korban kekerasan seksual.

"Sosialisasi Perma tersebut semua itu dalam rangka untuk mengupayakan pemulihan bagi korban tindak pidana khususnya kekerasan seksual," kata Ainal.

Baca juga: Pakar Hukum Siap Hadapi Crazy Rich Surabaya Jika Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

"Nah diharapkan hakim memberikan keputusan yang tidak hanya menghukum pelaku tetapi juga memulihkan hak-hak korban," tuturnya.

 

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan