Jumat, 15 Agustus 2025

Dekan FH UNS: Revisi KUHAP Berisiko Timbulkan Abuse of Power

Perubahan dalam KUHAP, khususnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan, memicu kekhawatiran terjadi Abuse of Power atau penyalahgunaan wewenang

Tribunnews.com/ Chaerul Umam
REVISI KUHAP - Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Juniver Girsang, mengusulkan larangan publikasi atau liputan langsung terhadap proses persidangan di ruang sidang pengadilan. Perubahan dalam KUHAP, khususnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan, memicu kekhawatiran terjadi Abuse of Power atau penyalahgunaan wewenang 

TRIBUNNEWS.COM - Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan, memicu kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Muhammad Rustamaji, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), menyoroti dalam draf revisi KUHAP, pihak kepolisian diberikan otoritas untuk melakukan penangkapan secara langsung.

Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a, yang menyebutkan bahwa atas perintah penyidik, tindakan seperti penangkapan, pelarangan bepergian, penggeledahan, hingga penahanan dapat dilakukan.

“Konsep tersebut dikenal dengan istilah tindakan polisional yang bersifat represif. Padahal, proses penegakan hukum berdiri di atas empat tahapan, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Revisi ini justru membuka ruang lebih besar bagi tindakan penahanan,” ujar Rustamaji pada Senin (7/4/2025) malam.

Ia menambahkan, kewenangan baru yang memperbolehkan polisi menangkap secara langsung berpotensi disalahgunakan.

Dalam KUHAP sebelumnya, prosedur penangkapan harus dilengkapi dengan surat resmi dan berita acara pemeriksaan (BAP), yang menjamin adanya standar dan akuntabilitas dalam proses hukum.

Pelanggaran terhadap hal ini dapat melanggar asas praduga tak bersalah, meskipun ada ruang untuk mengajukan praperadilan.

“Jangan sampai tindakan ini malah jadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang. Wajar kalau masyarakat merasa resah. Bahkan, penyidik dengan pangkat rendah seperti Aiptu bisa melakukan penangkapan. Ini rawan,” tambahnya.

Rustamaji juga menyoroti perubahan status penyidik dalam revisi KUHAP, di mana penyidik dari Polri kini disebut sebagai ‘penyidik utama’.

Perubahan ini menandakan adanya peningkatan peran Polri sebagai koordinator atas penyidik lain, termasuk dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS).

“Polri kini berada di atas dalam struktur penyidikan. Ini memberi kesan adanya monopoli proses investigasi oleh Polri, yang seharusnya dilakukan secara setara. Sebelumnya, penyidik hanya dibagi ke dalam kategori umum dan khusus, bukan utama,” jelasnya.

Baca juga: DPR Dinilai Tergesa-gesa Bahas RUU KUHAP Sehingga Berpotensi Melanggar HAM

Lebih lanjut, ia menilai koordinasi horizontal antara Polri dan Kejaksaan perlu diperhatikan, mengingat Kejaksaan adalah satu-satunya institusi yang berwenang melakukan penuntutan.

Jika penyidik PNS berada di bawah kendali Polri, maka independensi mereka sebagai penegak hukum, misalnya dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda), bisa terganggu.

“Kalau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dikendalikan polisi, maka sulit bagi mereka bersikap mandiri. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana bisa menjadi tidak utuh,” paparnya.

Rustamaji berharap, DPR dan pemerintah bisa memberikan waktu untuk mendalami dan mengkaji kembali revisi KUHAP secara terbuka sebelum pengesahan dilakukan. Jangan sampai proses revisi berlangsung tergesa-gesa dan mengabaikan aspirasi masyarakat.

Halaman
12
Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan