Jumat, 8 Agustus 2025

Dokter PPDS Rudapaksa Anak Pasien

Kata Pakar Soal Rencana Tes Kesehatan Mental Bagi Dokter PPDS

Menkes Budi Gunadi Sadikin bakal mewajibkan tes kesehatan mental bagi dokter PPDS, buntut kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter residen di RSHS.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV
PELAKU PENCABULAN - Pelaku pencabulan terhadap salah seorang keluarga pasien RS Hasan Sadikin Bandung, ditampilkan oleh Ditreskrimum Polda Jabar, Rabu (9/4/2025). Oknum dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran (FK) di salah satu universitas di Sumedang, Jabar, ditetapkan sebagai tersangka. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bakal mewajibkan tes kesehatan mental bagi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), buntut dari kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter residen anestesi di RSHS Bandung

Terkait hal ini, Dokter, Ahli Keamanan Kesehatan Global sekaligus Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dicky Budiman beri tanggapan.  

Menurutnya, rencana tes kesehatan mental merupakan langkah awal yang baik. Tapi tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen pencegahan. 

Baca juga: Kata Rektor Unpad soal Penghentian PPDS di RSHS Bandung Imbas Dokter Residen Rudapaksa Anak Pasien

Kesehatan mental yang terganggu memang bisa berkontribusi terhadap perilaku tidak etis.

"Tapi, tindakan amoral seperti kekerasan seksual lebih erat kaitannya dengan masalah integritas, penyimpangan etika, dan kegagalan sistem pengawasan profesional," ungkap Dicky pada keterangan resmi, Selasa (15/5/2025). 

Menurut Dicky, tes psikologis hanya akan mengidentifikasi gejala atau risiko umum seperti depresi, burnout, atau kecenderungan agresif. 

Namun perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual sering kali berkaitan dengan faktor kekuasaan, impunitas, dan budaya diam di institusi.

Ditambah lagi, fakta adanya bimbingan tes untuk tes psikologi juga berpotensi mengaburkan atau meloloskan kandidat bermasalah mental.

"Jadi, tes kesehatan mental penting. Tapi tidak cukup untuk mencegah kekerasan seksual jika tidak disertai sistem etik dan pengawasan yang ketat," imbuhnya. 

Lebih lanjut, Dicky menyarankan untuk melakukan tiga pendekatan utama. 

Pertama, reformasi kurikulum etika kedokteran. 

Etika medis harus tidak hanya menjadi teori di awal pendidikan dokter.

Tapi di internalisasi terus-menerus selama masa pendidikan spesialis. Diskusi kasus, refleksi etik, dan supervisi moral harus dilakukan secara rutin.

Kedua, budaya institusi yang melindungi pasien dan menindak tegas pelanggaran.  

Setiap rumah sakit pendidikan harus membentuk komite etik yang independen, dan menjamin pelaporan kasus bisa dilakukan secara aman tanpa takut balasan. 

Budaya saling menutupi atau hierarki yang kaku harus diurai.

Ketiga, seleksi masuk PPDS yang tidak hanya berdasarkan nilai akademik. 

Evaluasi rekam jejak etik, rekam kelakuan, dan integritas calon peserta PPDS harus menjadi bagian dari sistem seleksi. 

"Kita tidak hanya mencari dokter yang pintar, tapi juga yang berintegritas dan berempati," tegasnya. 

 

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan