Kamis, 2 Oktober 2025

Anak Legislator Bunuh Pacar

Hakim Tanya Mekanisme Perampasan Aset Halal Bercampur Aset Hasil Gratifikasi di Kasus Zarof Ricar

Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mempertanyakan mekanisme perampasan aset halal yang bercampur harta hasil tindak pidana yang diperoleh Zarof Ricar.

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Fahmi Ramadhan
SIDANG ZAROF RICAR - Sidang lanjutan kasus pemufakatan jahat kepengurusan perkara Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/5/2025). Dalam sidang inj hakim mempertanyakan soal mekanisme perampasan aset dalam kasus pemufakatan jahat Zarof Ricar. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mempertanyakan soal mekanisme perampasan aset halal yang bercampur dengan harta hasil tindak pidana yang diperoleh Zarof Ricar selama menjabat di Mahkamah Agung periode 2012-2022.

Adapun hal itu ditanyakan Hakim Anggota Sunoto kepada ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda.

Chairul Huda dihadirkan sebagai ahli meringankan kubu terdakwa eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dalam sidang lanjutan kasus pemufakatan jahat kepengurusan perkara Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/5/2025).

Awalnya hakim Sunoto bertanya pada Huda terkait bagaimana seharusnya Pengadilan dalam menentukan antara aset yang diperoleh dengan cara sah dan aset hasil tindak kejahatan.

Lantas Hakim Sunoto pun menyinggung soal kepemilikan harta hampir Rp 1 triliun yang diduga diperoleh Zarof dari hasil gratifikasi selama menjabat di MA periode 2012-2021.

Baca juga: Jaksa Kuliti Kesaksian Pengacara Ronald Tannur Soal Catatan OC yang Ditemukan di Rumah Zarof Ricar

"Apakah doktrin komiling aset atau pencampuran aset itu dapat diterapkan untuk membenarkan untuk perampasan aset atau Pengadilan harus melakukan pendekatan proporsional berdasarkan bukti yang tersedia untuk setiap komponen harta?" tanya Hakim.

Menanggapi pertanyaan itu, Huda pun menjelaskan, bahwa untuk melakukan perampasan aset itu sangat tergantung dengan konstruksi dakwaan dari Penuntut umum terhadap Zarof.

Ia menerangkan, apabila dakwaan yang dialamatkan terhadap Zarof yakni pasal suap dan atau gratifikasi, maka pengadilan atau hakim bisa menjadikan hal itu sebagai tolak ukur untuk memilah mana harta yang berasal dari tindak pidana atau bukan untuk selanjutnya dilakukan perampasan.

Baca juga: Kejagung akan Dalami Aliran Rp 50 Miliar Zarof Ricar Hasil Menangkan Perkara Perdata Dua Perusahaan

"Karena terkait dengan tindak pidana yang didakwakan, kalau tadi misalnya dakwaan suap Rp 5 miliar, ya jelas barang buktinya Rp 5 miliar enggak mungkin lebih dari itu, kurang bisa kalau itu sudah terpakai," kata Huda.

Namun, Huda menekankan, terkait pasal gratifikasi, hakim menurut dia mesti melihat perihal penerimaan uang oleh Zarof dari rentang waktu kasus yang didakwakan.

Dari situ, kata dia, majelis bisa mencari tahu mulai asal muasal aset yang diterima Zarof apakah dari hasil gratifikasi atau diperoleh dari hasil yang sah.

"Karena bisa jadi seperti yang Yang Mulia katakan, harta ini katakanlah bercampur katakanlah begitu nilainya Rp 100 miliar misalnya, ada hasil jual tanah, ada warisan, ada menang lotre misalnya tapi ada juga hasil menerima suap, begitu," jelasnya.

"Sebab kalau jumlahnya Rp 100 miliar ini semuanya gratifikasi, ya yang Yang Mulia katakan, bagaimana pengadilan punya kriteria yang proporsional untuk menentukan ini harta kekayaan dia yang sah atau ini hasil tindak pidana," sambungnya.

Alhasil, Huda menilai, bahwa hakim harus bisa mengurai dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum untuk menentukan harta mana yang diperoleh dari hasil gratifikasi atau bukan.

"Sehingga kalau itu terurai pengadilan bisa menentukan berkenaan dengan status dari gratifikasi itu sebagai suatu barang bukti tindak pidana atau bukan," ucapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved