Prakiraan Cuaca
Mengapa Sudah Musim Kemarau, tapi Hujan Masih Deras? Ini Penjelasan BMKG
BMKG memberikan penjelasan alasan mengenai mengapa sudah memasuki musim kemarau tetapi hujan masih sangat deras.
Penulis:
Whiesa Daniswara
Editor:
Febri Prasetyo
Kejadian tersebut tidak hanya diakibatkan oleh mekanisme konvektivitas lokal yang sering terjadi pada masa peralihan, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika atmosfer berskala lebih luas, yaitu aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang-gelombang atmosfer.
Saat ini MJO terpantau aktif berada di Fase 5 (Benua Maritim) dan diprediksi konsisten berada di wilayah Indonesia untuk sepekan ke depan.
Selain itu, gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial juga cenderung persisten berpropagasi di sebagian wilayah Indonesia.
Fenomena-fenomena tersebut berpotensi memberikan pengaruh signifikan dalam memicu peningkatan pertumbuhan awan hujan, khususnya di bagian barat dan tengah Indonesia.
Meskipun lebih banyak wilayah terindikasi memasuki awal musim kemarau pada akhir bulan Mei akibat Monsun Australia yang diprakirakan menguat, hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat masih berpotensi terjadi akibat aktivitas MJO dan gelombang atmosfer tersebut.
Mengingat kondisi atmosfer yang masih relatif dinamis dan dapat berubah secara tiba-tiba pada periode ini, masyarakat diimbau untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem yang dapat sewaktu-waktu terjadi.
Kapan cuaca ekstrem ini akan berakhir?
BMKG menjelaskan fenomena MJO diprakirakan konsisten berada di wilayah Indonesia (fase 3, 4, dan 5) dalam sepekan ke depan.
Selain itu, aktivitas gelombang Rossby Ekuatorial dan Kelvin juga diprakirakan akan memasuki wilayah Indonesia dalam beberapa hari ke depan.
Baca juga: Waspada Cuaca Ekstrem Potensi Hujan Lebat Melanda Seluruh Wilayah Indonesia Hari Ini, Cek Wilayahnya
"Hal ini menunjukkan potensi curah hujan yang cenderung meningkat, mengingat MJO dan gelombang-gelombang atmosfer tersebut membawa lebih banyak awan hujan dan berpotensi menyebabkan curah hujan di atas normal pada sebagian wilayah," tulis BMKG dalam siaran persnya.
Sirkulasi Siklonik diprediksi terbentuk di Laut Cina Selatan, Laut Maluku, dan perairan utara Maluku Utara, yang membentuk daerah perlambatan angin (konvergensi) di Wilayah Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan utara Maluku Utara.
Sirkulasi Siklonik ini juga membentuk daerah pertemuan angin (konfluensi) yang diprediksi berada di Wilayah Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram, Laut Halmahera, dan Samudra Pasifik utara Papua Barat.
Kombinasi antara MJO, gelombang Kelvin, gelombang Rossby Ekuator, dan gelombang Low Frequency pada wilayah dan periode yang sama terpantau aktif di Jawa Timur, Bali, Laut Jawa bagian timur, Laut Flores, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Laut Banda.
Hal ini berpotensi meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.
Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan sebagai salah satu indikator terjadinya cuaca ekstrem, meskipun dengan cakupan area hujan yang tidak sebesar yang biasa terjadi pada periode musim hujan.
Meskipun demikian, pergerakan massa udara kering dari benua Australia tetap mengindikasikan penurunan curah hujan di sebagian wilayah, seiring dengan masuknya musim kemarau.
Kondisi ini juga memicu peningkatan kecepatan angin di wilayah Indonesia bagian selatan, serta kenaikan tinggi gelombang di Samudra Hindia Barat Daya Lampung hingga Selatan NTT, Laut Timor, dan Laut Arafuru.
(Tribunnews.com/Whiesa)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.