Kamis, 4 September 2025

Dinilai Multitafsir, UU Polri Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). 

|
Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
UU POLRI DIGUGAT - Seorang advokat bernama Syamsul Jahidin melayangkan gugatan atas Pasal 16 (1) l dan ayat 2 c Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri. Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 76/PUU-XXIII/2025. Sidang perdana di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, pengujian materil Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian ini berlangsung Kamis (22/5/2025) dengan majelis hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Kali ini, kewenangan yang diatur dalam beleid tersebut dianggap multitafsir dan berpotensi adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum

Seorang advokat bernama Syamsul Jahidin melayangkan gugatan atas Pasal 16 (1) l dan ayat 2 c UU 2/2002.

 

Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 76/PUU-XXIII/2025. 

Sidang perdana di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, pengujian materil UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian ini berlangsung Kamis (22/5/2025) dengan majelis hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih.

Kepada majelis hakim konstitusi, Syamsul menyampaikan norma Pasal 16 ayat 1 UU khususnya huruf l yang berbunyi, “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” bersifat multiinterpretatif. 

Hal itu menurutnya memberi ruang bagi aparat kepolisian untuk melakukan tindakan secara subjektif. 

Ia juga menilai bahwa Pasal 16 ayat (2) UU khususnya huruf c yang berbunyi, “harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya” juga mengandung unsur penilaian yang subjektif sehingga berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-sewenang.

Syamsul berpendapat Pasal 16 ayat 1 huruf l telah memberi ruang kepolisian dapat melakukan tindakan di luar prosedur hukum formal dengan dalih bertanggungjawab tanpa parameter objektif. 

“Pasal ini dapat menimbulkan 'chilling effect' atau ketakutan masyarakat atas kondisi ambigu dalam perundangan,” ujar dia dalam persidangan.

Selain itu, Syamsul juga beranggapan adanya pelanggaran hak pribadi pada Pasal 16 ayat 2 huruf c. 

Frasa 'harus patut dan masuk akal dalam lingkungan jabatannya', menurut dia, mengandung unsur subjektif. 

Pasal ini dinilai dapat menjustifikasi tindakan oknum sebagai masuk akal, meskipun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme, proporsionalitas dan akuntabilitas, yang harusnya melekat pada penegak hukum. 

“Pasal ini memberikan ruang penilaian subjektif tanpa kontrol objektif berpotensi memberikan praktik otoritarianisme, tidak adanya transparansi, serta tindakan koersif yang hanya dibenarkan secara internal oleh institusi kepolisian,” ujar dia.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan