Rabu, 3 September 2025

Dinilai Multitafsir, UU Polri Digugat ke Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). 

|
Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
UU POLRI DIGUGAT - Seorang advokat bernama Syamsul Jahidin melayangkan gugatan atas Pasal 16 (1) l dan ayat 2 c Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri. Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 76/PUU-XXIII/2025. Sidang perdana di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, pengujian materil Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian ini berlangsung Kamis (22/5/2025) dengan majelis hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih. 

Berkas gugatan tersebut mengutip sejumlah pemberitaan di media massa yang memuat tentang kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang. 

Di tahun 2019, misalnya, kekerasan penanganan demo sebanyak 68 kasus, penangkapan sewenang-wenang 3.539 korban, penahanan sewenang-wenang 326 korban, dan dugaan penyiksaan sebanyak 474 korban. 

Kepada wartawan usai persidangan, Syamsul menjelaskan bahwa frasa 'harus masuk akal', seperti yang dijelaskan Pasal 16 ayat 2 huruf C, bersifat subjektif. 

Dirinya menyebut norma 'masuk akal' dapat membuat semua pihak menjadi rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang dari Polri. 

"Jadi undang-undangnya objektif tapi sifatnya subjektif. Nah ini yang banyak menimbulkan kesewenangan," tutur Syamsul.

Dalam persidangan kali ini, Pasal 11 (2) UU No. 2/2002 yang mengatur tentang usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga ikut digugat. 

Syamsul bersama seorang anggota bhayangkari (istri polisi), bernama Ernawati terdaftar sebagai pemohon dalam berkas gugatan dengan nomor perkara 78/PUU-XXIII/2025. 

Keduanya menilai penjelasan Pasal 11 ayat (2) seharusnya dirumuskan dalam batang tubuh pasal. 

Sosok Ernawati yang turut menjadi pemohon uji materiil Pasal 11 (2) diketahui sempat membuat tagar #percumalaporpolisi lewat akun TikToknya. 

Ernawati, asal Jeneponto, Sulawesi Selatan, sebelumnya merupakan anggota Bhayangkari (istri polisi) yang mencari keadilan atas kematian Kaharuddin Dg Sibali, kakak kandungnya.  

Erna ditetapkan sebagai tersangka UU ITE setelah aktif menyuarakan di media sosial soal kematian Kahar, yang diduga tewas disiksa polisi.

"Saya Ibu Ernawati, yang pernah dijuluki narasumber percuma lapor polisi. Sampai sekarang belum dapat keadilan. Belum terbuka kematian saudara saya. Karena kenapa? Kewenangan itu dipakai untuk menutupi kematian almarhum kakak saya ini. Yang kewenangan apa? Hasil visum enggak dikasih sama polisi, karena polisi yang punya kewenangan. Terus saya juga kepastian hukum belum dapat,” ucapnya saat ditemui di MK.

Terkait gugatan uji materiil dua perkara ini, hakim konsitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon melakukan perbaikan berkas perkara. 

Sementara Anwar Usman menilai pemohon seharusnya mengajukan gugatan ke PTUN. 

Baca juga: Prabowo Komitmen Kawal Proses Revisi UU Polri demi Polisi yang Hebat

Majelis hakim memberi batas waktu bagi pemohon untuk melakukan perbaikan hingga sidang pada 4 Juni 2025. (*)

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan