Kasus di PT Sritex
Kredit Macet Sritex Capai Rp3,58 Triliun, Ternyata Selama Ini Dipakai Iwan Lukminto untuk Hal Lain
Iwan Setiawan Lukminto selaku debitur, diduga menyalahgunakan dana kredit bank BUMD untuk memenuhi kebutuhan yang lain, salah satunya membayar utang,
Penulis:
Rifqah
Editor:
Pravitri Retno W
Hingga saat ini, Sritex tidak dapat melakukan pembayaran karena sudah dinyatakan pailit sejak Oktober 2024 lalu.
Kredit Bank Disalahgunakan Eks Dirut Iwan Setiawan Lukminto
Abdul Qohar mengatakan Iwan Setiawan Lukminto selaku debitur, diduga menyalahgunakan dana kredit bank BUMD untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
Eks dirut tersebut diketahui memanfaatkan dana kredit itu untuk membayar sejumlah utang kepada pihak ketiga.
Selain itu, Iwan Setiawan Lukminto juga membeli sejumlah aset, antara lain pembelian tanah di beberapa wilayah.
Padahal, dalam perjanjiannya, dana kredit itu semestinya diperuntukkan untuk modal kerja di PT Sritex.
Sehingga, penggunaan dana kredit itu tidak sesuai akad atau perjanjian dengan pihak bank.
"Tetapi berdasarkan hasil penyidikan hang tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, tapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset yang tidak produktif," jelas Qohar.
"Ada di beberapa tempat, ada yang di Jogja, ada yang di Solo. Jadi nanti pasti akan kita sampaikan semuanya," jelas Qohar.
2 Eks Petinggi Bank BUMD Turut Jadi Tersangka
Dalam kasus ini, selain Iwan Setiawan Lukminto, dua mantan petinggi bank BUMD juga menjadi tersangka dan turut ditahan.
Mereka adalah Direktur Utama Bank DKI periode 2020, Zainuddin Mappa, dan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB periode 2020, Dicky Syahbandinata.
Abdul Qohar mengatakan Dicky dan Zainuddin diduga telah memberikan kredit secara melawan hukum kepada PT Sritex melalui Iwan Setiawan Lukminto, karena tidak melakukan analisis dan menaati prosedur saat memberikan kredit kepada Sritex yang saat itu dipimpin Iwan Setiawan Lukminto.
Pasalnya, berdasarkan penilaian dari Lembaga Pemeringkat Fitch dan Moodys, PT Sritex memiliki peringkat BB, atau sebagai perusahaan yang berisiko gagal bayar cukup tinggi sehingga tidak layak diberi kredit tanpa adanya jaminan.
"Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A, yang seharusnya wajib dilakukan sebelum diberikan fasilitas kredit," kata Abdul Qohar.
Perbuatan kedua tersangka itu bertentangan dengan ketentuan Standar Operasional Prosedur Bank serta Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sekaligus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Hal itu kemudian dibuktikan dengan macetnya pembayaran kredit yang dilakukan oleh PT Sritex kepada kedua BUMD tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.