Kasus di PT Sritex
Nasib Iwan Setiawan Lukminto: Pernah Masuk 50 Orang Terkaya Indonesia, Kini Tersangka Kredit Macet
Iwan Setiawan Lukminto pernah masuk 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes. Namun, kini justru jadi tersangka korupsi kredit macet.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Nasib Direktur Utama (Dirut) PT Sri Rejeki Isman (Sritex) periode 2005-2022, Iwan Setiawan Lukminto telah berubah 180 derajat saat ini.
Bagaimana tidak, sosok yang sempat masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2020 versi majalah Forbes, kini harus menjadi pesakitan setelah ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan kredit bank oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Iwan memang pernah menduduki peringkat ke-49 sebagai orang paling tajir di Indonesia pada lima tahun silam.
Berdasarkan catatan Forbes, dirinya memiliki harta mencapai 515 juta dolar AS atau setara dengan Rp8,41 triliun.
Namun, kekayaannya tersebut ternyata mengalami kemerosotan ketimbang di tahun 2019 ketika sempat tercatat memiliki harta sebesar 585 juta dolar AS atau Rp9,2 triliun.
Hanya saja, pada tahun 2021, nama Iwan Setiawan Lukminto terlempar dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia.
Hingga kini, belum diketahui secara pasti, harta milik sosok pria berusia 49 tahun tersebut.
Di sisi lain, terdepaknya Iwan juga berbanding lurus dengan kondisi keuangan PT Sritex sepanjang tahun 2021.
Dikutip dari Kontan.co.id, Sritex tercatat mengalami kerugian bersih hingga 1,08 miliar dolar AS atau setara dengan 17,6 triliun (asumsi kurs Rp16.323).
Baca juga: Iwan Setiawan Bos Sritex Rutin Beri Sumbangan meski Jarang Berbaur, Lurah: Belum Pernah Berinteraksi
Ketika itu, berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2021, PT Sritex mencatatkan penjualan sebesar 847 juta dolar AS atau setara dengan Rp12,28 triliun yang turutn sekitar 33 persen dibandingkan dengan penjualan 2020 yang menncapai 1,28 miliar dolar AS atau Rp18,56 triliun.
Kini Jadi Tersangka Kredit Macet, Rugikan Negara Rp692 M
Ternyata, kerugian PT Sritex tahun 2021 itu menjadi awal mula Kejagung mengendus kecurigaan terkait adanya tindak pidana korupsi di PT Sritex.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengungkapkan kecurigaan itu muncul karena PT Sritex sempat memperoleh laba sekitar Rp1,24 triliun di tahun 2020.
Tak tanggung-tanggung, PT Sritex mengalami kerugian mencapai Rp15,65 triliun.
"Bahwa ada laporan keuangan PT Sri Rejeki Isman Tbk telah melaporkan adanya kerugian dengan nilai mencapai 1,08 miliar dolar AS atau setara dengan Rp15,65 triliun pada tahun 2021."
"Padahal sebelumnya pada tahun 2020, PT Sri Rejeki Isman masih mencatat keuntungan sebesar 85,32 (juta) dolar AS atau setara dengan Rp1,24 triliun," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (21/5/2025) malam.
Jomplangnya keuntungan dan kerugian yang dialami PT Sritex itulah yang membuat penyidik Kejagung merasa ada yang janggal.
"Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan," jelasnya.
Dengan temuan tersebut, Qohar mengatakan penyidik Kejagung lantas melakukan pemeriksaan terhadap PT Sritex dan anak perusahaannya.
Ternyata, seluruh perusahaan memiliki tagihan utang yang belum dilunasi hingga bulan Oktober 2024 sebesar Rp3,5 triliun.
Qohar mengatakan tunggakan utang tersebut terkait pemberian kredit dari puluhan bank seperti Himbara hingga bank swasta.
"Utang tersebut adalah kepada beberapa bank pemerintah, baik Bank Himbara yaitu Himpunan Bank Milik Negara maupun Bank Milik Pemerintah Daerah."
"Selain kredit tersebut di atas, PT Sri Rejeki Isman Tbk juga mendapatkan pemberian kredit dari 20 bank swasta, seperti yang tadi telah saya sampaikan," tuturnya.
Nyatanya, alih-alih pemberian kredit dari bank digunakan untuk operasional PT Sritex, Iwan justru menggunakannya untuk kepentingan pribadinya seperti membeli tanah dan membayar utang ke pihak ketiga.
"Tetapi berdasarkan hasil penyidikan hang tersebut tidak digunakan untuk modal kerja, tapi digunakan untuk membayar utang dan membeli aset yang tidak produktif," kata Qohar.

Qohar mengungkapkan Iwan membeli beberapa tanah di Yogyakarta dan Solo dengan menggunakan kredit dari bank tersebut.
"Ada di beberapa tempat, ada yang di Jogja, ada yang di Solo. Jadi nanti pasti akan kita sampaikan semuanya," jelas Qohar.
Akibat perbuatannya tersebut, , Iwan ditetapkan menjadi tersangka bersama pihak bank yang memberikan kredit.
Mereka adalah Dirut Bank DKI periode 2020 Dicky Syahbandinata dan Pimpinan Komersial dan Korporasi Bank BJB tahun 2020 Zainuddin Mappa.
Kedua orang tersebut ditetapkan menjadi tersangka karena dianggap meloloskan pencairan dana kredit kepada Iwan meski memiliki risiko tinggi.
"Menetapkan tiga orang tersebut sebagai tersangka," tegas Qohar.
Akibat perbuatan ketiganya, negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp692 miliar.
"Terkait kerugian keuangan negara ini adalah sebesar Rp 692 miliar. Ini terkait dengan pinjaman PT Sritex kepada dua bank. Tadi saya sampaikan Bank DKI Jakarta dan Bank BJB," ujar Qohar.
Iwan dan dua tersangka lainnya pun dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH-Pidana.
Mereka langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar Kejagung RI pada Rabu (21/5/2025) malam.
Sebagian artikel telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Perjalanan Perusahaan Tekstil Legendaris, Sritex hingga Akhirnya Benar-Benar Pailit"
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kontan.co.id/RR Putri Wediningsih)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.