RUU KUHP
Sosialisasi UU KUHP, Ketua DPC Peradi Jakbar: Peralihan ke KUHP Baru Memerlukan Semangat Kolektif
DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) berkolaborasi dengan Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menggelar seminar sosialisasi Undang-Undang KUHP.
Penulis:
Muhammad Zulfikar
Editor:
Wahyu Aji
“Alhamdulillah yang mendaftar lebih dari 700 peserta offline maupun online,” ucap Nadya.
Ia menyampaikan, pihaknya akan terus menghelat Level Up With DPC Peradi Jakbar volume selanjutnya dengan mengangkat tema-tema menarik.
“Kita komitmen untuk melaksanakan acara ini secara berkelanjutan dan cuma-cuma untuk seluruh anggota Peradi di bawah kepemimpinan Prof. Otto Hasibuan dan juga untuk seluruh peserta PKPA kami,” tuturnya.
Dekan Fakultas Hukum (FH) UAI, Dr Yusuf Hidayat mewakili Rektor Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, mengharapkan, melalui sosialisasi dan seminar yang menghadirkan para guru besar ini, para calon dan advokat Peradi menguasai UU KUHP baru.
“Lawyer-lawyer kita ini tentu walaupun nanti berlakunya tahun 2026, tapi sekarang sudah menyiapkan diri,” katanya.
Pencemaran terhadap Kepala Negara
Prof. Topo menjelaskan soal pasal penghinaan terhadap kepada negara. Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu itu tidak terkait KUHP, tetapi untuk UU ITE.
Menurutnya, setelah UU KUHP berlaku mulai 2 Januari 2026, kemudian ada orang yang tidak setuju dengan isi pasal soal pencemaran terhadap kepala negara, bisa menggugatnya ke MK.
“Karena objeknya, pasalnya beda. Jadi itu terbuka didugat di MK,” ucapnya.
Alasan Pemaafan Hakim
Prof. Syahlan meyoroti soal pemaafan hakim yang diatur dalam Pasal 54 KUHP baru.
Ini merupakan pasal krusial dan semua elemen akan menperhatikannya bagaimana hakim memberikan pemaafan.
“Ini krusial sekali, di fondasi hukum kita bahwa setiap orang bersalah itu harus dihukum, tapi [di KUHP baru] ini harus dimaafkan,” .
Tentunya, ada kriteria-kriteria untuk hakim bisa memberikan pemaafan sebagaimana rumusan pasal tersebut, di antaranya tindak pidana ringan. Tindak pidana korupsi tidak masuk kategori ini.
“Jadi tidak bisa semua bisa kita [hakim] maafkan. Apalagi kalau sudah 3 kali [melakukan pidana] tidak bisa dimatuturnya," katanya.
Sementara itu, Prof. Suparji menjelaskan bahwa tidak semua penuntutan bisa gugur dalam KUHP baru. Pada Pasal 132, pidana yang diancam pada kategori 2, misalnya dendanya Rp10 juta atau kategori 4 misalnya Rp40 juta.
“Dalam KUHP baru ini, salah satu bentuk sanksinya adalah berupa denda dengan kategori 1 sampai dengan 6 dan sebagainya, seandainya dibayar maka kemudian kita akan menghentikan proses penuntutan,” katanya.
RUU KUHP
Pakar Hukum Nilai Keliru Minta PBB Diusir dari Indonesia Kalau Masih Kritik KUHP |
---|
Pakar Hukum: KUHP Baru Tak Layak Dikatakan Sudah Dekolonisasi |
---|
Staf Khusus Presiden Tegaskan KUHP Jamin Kemerdekaan Pers |
---|
PBB Komentari KUHP Baru, Legislator Golkar: Indonesia Harus Tegas! |
---|
Anggota DPR Sebut Pasal Perzinahan di KUHP untuk Cegah Pergaulan Bebas |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.