Sabtu, 13 September 2025

Pengamat Bicara soal Pentingnya Reformasi Polri Lewat Reposisi Kelembagaan

Reformasi Polri dinilai harus dilakukan dengan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. 

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Ist
RUU POLRI - Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menilai saat ini Polri berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi Polri dinilai harus dilakukan dengan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. 

Hal ini dianggap untuk mencegah terjadinya abuse of power dalam sektor penegakan hukum.

Salah satu caranya adalah dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum

Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, menilai saat ini Polri berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya.

"Gelombang kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara atas berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh anggota maupun struktur institusional Polri menjadi gambaran atas krusialnya reformasi Polri yang saat ini sedang dilakukan," kata dalam pesan yang diterima, Jumat (30/5/2025).

Rahman memandang urgensi merombak total tata kelola lembaga Polri perlu dilakukan untuk memastikan reformasi di Korps Bhayangkara tersebut berjalan dengan baik. 

"Beberapa kasus menonjol bahkan disebutnya menjadi indikator kegagalan sistemik Reformasi Polri. Pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam sindikat narkoba, dan intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp 271 triliun disebutkan sebagai beberapa contoh indikator kegagalan sistemik," kata dia.

Terancamnya reformasi Polri saat ini, dikatakan Rahman, disebabkan sejumlah faktor, salah satunya keberadaan Polri yang saat ini berada langsung di bawah Presiden.

Hal ini menjadikan Polri bebas dari kendali institusi kementerian dan membuka ruang luas bagi abuse of power. 

"Masalahnya bukan sekadar perilaku oknum, tetapi lebih pada desain kelembagaan yang cacat secara prinsip tata kelola demokratis. Ketika sebuah institusi yang memiliki senjata, kewenangan penindakan hukum, dan kekuasaan koersif tidak dikontrol oleh institusi sipil yang membentuk kebijakan, maka hasilnya adalah lembaga dengan potensi hegemoni kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas," terang Rahman.

Rahman turut menyoroti perluasan kewenangan diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang berpotensi menggerus fungsi kelembagaan lain, antara lain Kejaksaan, TNI, Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

"Perluasan kewenangan itu dikhawatirkannya menjadikan Polri sebagai lembaga yang terlalu kuat secara politik, operasional, dan administratif, tanpa pengawasan institusional yang efektif sebagaimana yang berlaku dalam desain negara demokratis modern," kata Rahman.

Lebih lanjut, Rahman berpendapat fakta bahwa sekitar 488 perwira aktif Polri menjabat di kementerian dan lembaga negara lain adalah alarm bahaya tentang terjadinya ekspansi politik dan birokratis Polri ke seluruh sektor pemerintahan. 

"Di saat yang sama, draf RUU Polri yang sedang dibahas di DPR mengindikasikan keinginan institusi ini untuk memperluas mandatnya ke wilayah-wilayah strategis yang selama ini menjadi kewenangan lembaga lain. Jika tidak dikontrol, Polri akan bertransformasi menjadi entitas superbody yang menyatukan kekuasaan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan otoritas politik," tegasnya.

Dirinya mengingatkan, secara fundamental perluasan mandat itu bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan