Kamis, 21 Agustus 2025

Ketua MK: Permohonan Pemakzulan Bisa Diajukan Jika Presiden atau Wapres Lakukan Pelanggaran Hukum

MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden (wapres) menurut UUD.

Editor: Wahyu Aji
Istimewa
KEWENANGAN MK - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat menjadi narasumber atau pemateri dalam PKPA Angkatan VII DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar), Minggu (15/6/2025).  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden (wapres) menurut UUD.

Hal itu dikatakan oleh Ketua MK Ketua Suhartoyo saat menjadi narasumber atau pemateri dalam PKPA Angkatan VII DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar), Minggu (15/6/2025).

Ia mengatakan, MK wajib memutusnya jika ada permohonan dari DPR.

‎“Ini yang sering kita dengar dengan istilah impeachment atau pemakzulan,” ujarnya.

‎Ia menjelaskan, permohonan tersebut bisa diajukan jika presiden dan atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum, di antaranya berupa pengkhianatan terhadap negara.

“Melakukan korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,” ‎ujarnya.

Alasan lainya, yakni presiden dan atau wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Ia menyampaikan, ini merupakan kewajiban yang diberikan kepada MK di samping 4 kewenangan, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, kemudian memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilu.

Suhartoyo men‎gatakan, pengujian UU terhadap UUD 1945 ini biasa disebut dengan judicial review (JR). Permohonan JR itu terdiri dari dua, yakni pengujian secara formil dan materiil. 

Pengujian secara formil adalah pengujian UU soal tata cara atau prosedur pembentukan UU yang dinilai oleh pemohon cacat hukum atau bertentangan dengan konstitusi.

Ada tenggat waktu untuk mengajukan permohonan pengujian formil, yakni maksimal 45 hari setelah UU itu diundangkan. Kalau dikabulkan, maka UU itu menjadi batal demi hukum. “Artinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” katanya.‎

Sedangkan pengujian materiil, yang dipersoalkan adalah mengenai substansi atau materinya. ‎Tidak ada batas waktu untuk menguji materi suatu UU, sehingga materi UU yang sudah berpuluh-puluh tahun berlaku pun masih bisa diuji.

“(Diuji) mungkin pasalnya atau ayatnya atau bagian dari pasal atau bagian dari ayat,” katanya. 

Suhartoyo mengungkapkan, uji UU terhadap UUD 1945 merupakan core business MK. 

Sedangkan kewenangan lainnya, merupakan tambahan ‎yang diberikan kepada MK oleh pembentuk UU ketika negara ini akan mendirikan MK.

Selanjutnya kewenangan MK menangani permohonan kewenangan antarlembaga negara.

Permohonannya bisa mengajukan jika ada lembaga negara yang kewenangannya dikurangi atau diganggu oleh lembaga negara lainnya.

‎Adapun kewenangan MK memutus permohonan pembubaran partai politik (parpol) karena asas, tujuan, maupun kegiatan dan dampak parpol tersebut bertentangan dengan konstitusi. 

“Pemerintah bisa mengajukan gugatan ke MK supaya partai yang bersangkutan dibubarkan,” ucapnya.

Memutus perselisihan hasil pemilu, terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, DPRD baik provinsi, kabupaten, dan kota; Pilkada, dan PPD.

Memutus perkara sengketa Pilkada ini diberikan ke MK bukan berdasarkan amanat konstitusi tetapi dari UU.

‎“Lima kewenangan MK tadi termasuk satu kewajiban itulah yang menjadi kewenangan MK yang diturunkan dari konstitusi kecuali sengketa Pilkada tadi,” ujarnya.

Baca juga: Legislator Golkar Sebut Pemakzulan Wapres Gibran Tak Berdasar: Enggak Ada Pelanggaran Hukum

PKPA DPC Peradi ‎Jakbar ini diikuti oleh 113 orang perseta. PKPA ini merupakan hasil kerja sama Peradi Jakbar, Universita Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, dan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan