Sabtu, 9 Agustus 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

7 Pihak Semprot Fadli Zon yang Bilang Rudapaksa Mei 1998 Hanya Rumor, Ragu Bukti TPGF dan Habibie?

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat kritikan dan sindiran dari berbagai pihak karena menyebut rudapaksa kekerasan seksual saat Mei 1998 hanya rumor

|
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
AKSI KAMISAN - Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-861 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/5/2025). Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat kritikan dan sindiran dari berbagai pihak karena menyebut rudapaksa kekerasan seksual saat Mei 1998 hanya rumor 

Menurutnya, beragam fakta tersebut menjadi bukti bahwa peristiwa pemerkosaan saat tragedi Mei 1998 benar-benar terjadi.

Sehingga, dia mendesak agar Fadli meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada Mei 1998.

"Fadli bahkan membantah temuan TGPF yang diakui negara. Ini bentuk pengkhianatan terhadap korban," ujarnya.

4. Warga Tionghoa

Hendra Setiawan Boen, warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta. 

“Sebagai Warga Negara Indonesia, saya mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Menyebut pemerkosaan saat Kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor adalah bentuk penyangkalan sejarah yang tidak bisa diterima,” kata Hendra dalam pernyataannya kepada media, Minggu (15/6/2025).

Praktisi hukum itu mengingatkan bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk negara pasca-kerusuhan 1998. 

TGPF menyimpulkan adanya bukti kuat bahwa terjadi pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa secara sistematis dan terorganisir, dengan sedikitnya 66 kasus terverifikasi di Jakarta saja. Ini bukan desas-desus, melainkan hasil investigasi yang sah dan diakui negara.

“Pernyataan Fadli Zon bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja TGPF, tapi juga mengkhianati upaya panjang pencarian keadilan yang dilakukan para penyintas, keluarga korban, dan masyarakat sipil selama lebih dari dua dekade,” ucap Hendra. 

Aksi Demonstrasi Para Mahasiswa Dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998
Aksi Demonstrasi Para Mahasiswa Dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 (kompas.com)

Dia menekankan bahwa luka kolektif akibat kekerasan berbasis etnis dan gender pada Mei 1998 masih belum pulih, dan komentar semacam ini justru memperparah trauma yang belum sembuh.

Hendra juga menyoroti pentingnya mengingat sejarah sebagai langkah krusial untuk mencegah berulangnya kekerasan serupa di masa depan.

 “Menyangkal sejarah sama saja dengan menghapus pelajaran penting yang bisa menyelamatkan generasi berikutnya dari siklus kebencian dan diskriminasi. Memaafkan dan melakukan rekonsiliasi tidak berarti melupakan. Justru pengakuan atas kebenaran adalah fondasi bagi keadilan yang sejati,” ujarnya.

Ia menyerukan agar Fadli Zon secara terbuka meminta maaf kepada para korban kekerasan seksual 1998 dan kepada publik luas atas pernyataannya yang dianggap mencederai martabat korban dan merusak ingatan kolektif bangsa. 

Ia juga mendesak para pejabat publik untuk bertanggung jawab menjaga integritas sejarah, bukan mengaburkan fakta demi kenyamanan politik.

“Melupakan sejarah kelam adalah bentuk kekerasan kedua terhadap para korban," ucapnya.

"Dan ketika pelaku penyangkalan adalah seorang pejabat negara, maka itu bukan sekadar kekhilafan—melainkan ancaman serius bagi demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan,” paparnya.

5. Korban Mei 1998

Masyarakat Tionghoa serta korban dan penyintas kekerasan seksual tragedi Mei 1998, merespons pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Diyah Wara Restiyati dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia menyatakan bahwa hingga saat ini, masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya tercatat dalam sejarah Indonesia.

"Mulai dari masa sebelum kemerdekaan sampai reformasi, sejarah masyarakat Tionghoa belum masuk. Ketika Bapak Fadli Zon mengatakan tidak ada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998, itu melukai kami," ujarnya dalam konferensi pers Aliansi Perempuan Indonesia, Sabtu (14/6/2025).

Diyah membagikan pengalaman pribadinya selama Tragedi Mei 1998 saat masih bersekolah di SMA.

"Saya terus berkomunikasi dengan teman-teman di Jakarta Barat dan Tangerang. Kondisinya sangat genting. Telepon sering terputus. Ketika tersambung, mereka bercerita bisa menyelamatkan diri karena penampilan mereka tidak terlalu menonjolkan ciri Tionghoa," ujarnya.

Salah satu temannya bahkan memilih mengungsi ke Singapura dan tak kembali hingga sekarang. 

"Trauma itu nyata," tegas Diyah.

Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual Mei 1998 sebagai rumor tanpa bukti memicu reaksi keras dari berbagai kelompok perempuan.

"Sebagai penyintas, pernyataan Fadli Zon memperparah luka kami. Ini bukti negara mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM," kata Tuba Falopi dari FAMM Indonesia.

AKSI KAMISAN - Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-861 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/5/2025). Dalam aksi tersebut menuntut penuntasan pelanggaram berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada 12 Mei 1998 menolak pemberian gelar pahlawan kepada Presiden ke-2 RI Soeharto karena dinilai memiliki rekam jejak yang kelam. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
AKSI KAMISAN - Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan mengikuti aksi Kamisan ke-861 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/5/2025). Dalam aksi tersebut menuntut penuntasan pelanggaram berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada 12 Mei 1998 menolak pemberian gelar pahlawan kepada Presiden ke-2 RI Soeharto karena dinilai memiliki rekam jejak yang kelam. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Tuba menambahkan, Fadli Zon seolah banyak membaca sejarah, tetapi justru meminggirkan fakta Mei 1998

"Negara gagal melindungi dan memilih menutup mata," kata dia.

Menurutnya, kekerasan seksual saat itu menjadi instrumen kekuasaan yang brutal.

Koalisi perempuan menuntut permintaan maaf dari Fadli Zon dan menolak upaya penulisan ulang sejarah yang mengabaikan peran perempuan. 

"Kami berdiri untuk keadilan dan pengakuan atas penderitaan korban," kata Tuba.

6. Fadjroel Rachman

Duta Besar Indonesia di Kazakhstan, Fadjorel Rachman membagikan pernyataan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie tentang kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998.

Fadjroel yang juga bagian dari aktivis 1998 itu ingin berbagi cerita sejarah kelam yang pernah diungkap Habibie dalam sebuah pidato.

Pada akun LinkedIn dan X miliknya, Fadjorel mengunggah ulang video pidato Habibie serta selembar gambar surat pernyataan.

Yakni tentang kecaman terhadap kekerasan seksual (korban perempuan) yang terjadi pada Mei 1998.

Fadjroel menegaskan, sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.

Unggahan tersebut diunggahnya di tengah polemik pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon belakangan.

Berikut unggahan Fadjroel yang diunggah pada Minggu (15/6/2025):

"Pernyataan Presiden Republik Indonesia ke-3 Prof. B. J. Habibie tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.

Forgiven but not Forgotten ~ 

#BungFADJROEL #TragediMei1998 #Reformasi1998."

Fadjroel Rachman membagikan video pidato Presiden ke-3 RI, BJ Habibie
SEJARAH KELAM - Unggahan duta besar Indonesia di Kazakhstan, Fadjroel Rachman membagikan video pidato Presiden ke-3 RI, BJ Habibie mengenai sejarah kelam Mei 1998 tindak kekerasan seksual terhadap perempuan.

7. Hugo PDIP

Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Andreas Hugo Pareira mengkritisi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal pada Mei 1998.

Andreas menegaskan, sejarah harus ditulis berdasarkan fakta, bukan disesuaikan dengan kepentingan politik sesaat.

"Polemik soal penulisan sejarah yang faktual dan objektif penting untuk menjadi pelajaran bangsa ini untuk belajar dari sejarah. Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno. Forgive but not forget, kata Nelson Mandela," kata Andreas kepada Tribunnews.com, Senin (16/6/2025).

Menurut Andreas, pernyataan tokoh-tokoh dunia tersebut mencerminkan pentingnya kejujuran dalam menulis sejarah, termasuk peristiwa pahit yang pernah terjadi.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, di Gedung DPR RI, Jakarta. Andreas mengkritisi putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan kepada Bripda AFH, polisi yang menjadi terdakwa kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua.
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, di Gedung DPR RI, Jakarta. Andreas mengkritisi putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan kepada Bripda AFH, polisi yang menjadi terdakwa kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua. (Tribunnews.com/Ist)

"Memanipulasi, menutup-nutupi peristiwa sejarah hari ini sama saja dengan membohongi diri, membohongi bangsa," ujarnya.

Lebih jauh, Andreas menolak gagasan bahwa fakta sejarah bisa diabaikan demi alasan persatuan nasional.

"Tidak ada manfaatnya kalau buku sejarah ditulis untuk membangun persatuan tetapi menutupi fakta sejarah yang penting," ucapnya.

"Karena justru ini akan menimbulkan kecurigaan dan luka yang tidak terobati dan akan membusuk dalam perjalanan waktu," tegas Andreas.

Temuan BJ Habibie

Dalam pernyataannya, Habibie mengungkapkan penyesalan mendalam atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan, khususnya terhadap perempuan, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Habibie setelah menerima laporan dari para tokoh masyarakat yang tergabung dalam gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Laporan itu disertai bukti-bukti nyata dan otentik mengenai kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada pertengahan Mei 1998.

“Atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, saya mengutuk keras berbagai aksi kekerasan yang terjadi dalam peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Presiden Habibie.

BJ Habibie, Kamis (21/5/1998), mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto.
BJ Habibie, Kamis (21/5/1998), mengucapkan sumpah sebagai Presiden RI yang baru di Jakarta, disaksikan presiden sebelumnya, Soeharto. (Dokumen Kompas)

Habibie juga menegaskan bahwa pemerintah akan bersikap proaktif dalam memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat, guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Lebih lanjut, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama dengan pemerintah.

Habibie Presiden meminta agar masyarakat segera melaporkan kepada aparat apabila mengetahui adanya tanda-tanda atau potensi kekerasan terhadap perempuan, di mana pun dan dalam bentuk apa pun.

Pernyataan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap perempuan, serta menandai langkah awal dalam upaya rekonsiliasi dan penegakan keadilan pasca tragedi nasional tersebut.

"Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," kata Habibie.

Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal.

Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut "sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia".

Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.

Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan. 

Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.

Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.

Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai "Anak Sulung Reformasi".

Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.

Kata Fadli Zon

Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.

Fadli menyatakan hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan belum memiliki dasar bukti kuat.

“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita nggak pernah tahu ada nggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya.

Fadli mempertanyakan klaim tentang adanya rudapaksa massal dalam peristiwa tersebut.

Politikus Partai Gerindra itu menyebut sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

“Nah, ada rudapaksa massa betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Nggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada,” ucapnya.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Fahdi Fahlevi, Yohanes Liestyo Poerwoto, Chaerul Umam, Fersianus Waku)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan