Penulisan Ulang Sejarah RI
Kala Tangisan 2 Anggota DPR Tak Cukup Buat Fadli Zon Akui Ada Pemerkosaan Massal pada Mei 1998
Tangisan dua anggota DPR ternyata tidak membuat Fadli Zon mengakui adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Nuryanti
My Esty juga menganggap Fadli tidak memiliki kepekaan terhadap para korban pemerkosaan Mei 1998 lewat pernyataannya tersebut.
Dia menilai Fadli terlalu teoritis dalam melihat kasus pemerkosaan tersebut.
Ketika My Esty masih berbicara, Fadli pun menginterupsi dengan menyatakan dirinya mengakui adanya pemerkosaan tersebut.
“Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.
Lagi-lagi, emosi My Esti tidak teredam lewat pengakuan Fadli itu yang seolah-olah tetap meragukan penderitaan korban.
Setelah itu, perdebatan singkat terjadi dan diinterupsi oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Mercy Chriesty Barends.
Sama dengan My Esty, Mercy pun turut menangis terkait pernyataan Fadli tersebut.
Di mana dia menganggap negara sulit untuk mengakui adanya sejarah kelam meski sudah ada berbagai macam data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
Dia lantas membandingkan peradilan dalam kasus perempuan yang dijadikan budak seks oleh Jepang saat Perang Dunia Kedua.
Mercy mengatakan saat itu, tidak seluruh kasus kekerasan seksual diangkat dalam persidangan.
Kendati demikian, Pemerintah Jepang tetap meminta maaf atas adanya tragedi tersebut.
Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan pemerintah Indonesia yang seakan terus menyangkal adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.
“Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” jelas Mercy.
Minta Maaf, tapi Tetap Tak Akui Ada Pemerkosaan Massal
Pada momen tersebut, Fadli pun meminta maaf atas pernyataannya yang meragukan adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.
Namun, dia kembali meragukan perlunya penambahan diksi 'massal' dalam kasus tersebut. Menurutnya, perlu bukti dan data valid untuk membuktikan hal itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.