Senin, 1 September 2025

Koalisi Sipil Desak DPR Bentuk UU Kehutanan Baru yang Adil dan Lindungi Ekosistem Hutan

Mereka sepakat bahwa UU Kehutanan yang berlaku selama lebih dari dua dekade tidak hanya gagal melindungi hutan.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
RAPAT PARIPURNA DPR - Suasana Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025). DPR diminta untuk membentuk UU Kehutanan Baru yang adil dan lindungi Ekosistem Hutan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UU Nomor 41 Tahun 1999) yang sedang berlangsung di Komisi IV DPR RI pada pertengahan tahun 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. 

Koalisi lintas organisasi ini menilai UU lama sudah tidak relevan dengan kondisi kehutanan nasional saat ini dan mendesak pembentukan undang-undang baru yang adil serta berpihak pada kelestarian ekosistem dan hak masyarakat adat.

Koalisi tersebut terdiri dari organisasi seperti WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Watch Indonesia, Greenpeace Indonesia, HuMa, Women Research Institute, Madani Berkelanjutan, dan Kaoem Telapak. 

Mereka sepakat bahwa UU Kehutanan yang berlaku selama lebih dari dua dekade tidak hanya gagal melindungi hutan.

Tapi juga telah memperkuat praktik eksploitasi yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat serta prinsip keberlanjutan lingkungan.

Hutan Bukan Sekadar Aset Negara

Selama ini, kebijakan pengelolaan hutan dalam UU No. 41/1999 dinilai menempatkan hutan sebagai komoditas ekonomi semata. 

Hal ini menyebabkan konflik tenurial, pengabaian hak masyarakat lokal, serta deforestasi yang masih terus berlangsung meski ada moratorium izin baru di kawasan hutan dan gambut.

“Karena itu koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” ujar Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia pada keterangannya, Selasa (15/7/2025). 

Anggi menambahkan secara filosofis, UU lama telah menafsirkan hak menguasai negara atas hutan secara keliru. 

Secara sosiologis, undang-undang tersebut mengabaikan pemaknaan hutan dalam kacamata sosio-kultural masyarakat lokal. 

Sedangkan secara yuridis, UU Kehutanan telah terlalu sering diubah sehingga substansinya menjadi tumpang tindih.

Ketimpangan Akses dan Ancaman Deforestasi

Koalisi menilai dalam praktiknya selama ini negara lebih banyak memberikan akses kepada korporasi daripada masyarakat yang tinggal dan bergantung langsung pada hutan. 

Padahal keberadaan masyarakat adat dan petani hutan tidak bisa dipisahkan dari kelestarian ekosistem.

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan