Kamis, 4 September 2025

Koalisi Sipil Desak DPR Bentuk UU Kehutanan Baru yang Adil dan Lindungi Ekosistem Hutan

Mereka sepakat bahwa UU Kehutanan yang berlaku selama lebih dari dua dekade tidak hanya gagal melindungi hutan.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
RAPAT PARIPURNA DPR - Suasana Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025). DPR diminta untuk membentuk UU Kehutanan Baru yang adil dan lindungi Ekosistem Hutan. 

“Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

Hal senada juga diungkapkan oleh Refki Saputra dari Greenpeace Indonesia. 

Menurutnya pendekatan negara yang melihat hutan sebagai sumber pendapatan justru melanggengkan praktik deforestasi yang mengancam jutaan hektare kawasan hutan alam di Indonesia.

“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik ‘monetisasi hutan’ dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.

Ia juga mencatat bahwa kebijakan moratorium izin di hutan dan lahan gambut belum cukup kuat. 

Buktinya, masih ditemukan deforestasi di area yang sudah dimoratorium, dengan kehilangan 39 ribu hektare hutan alam hanya dalam tahun 2024.

Dari Rezim Pengurusan ke Pengelolaan

Dalam usulannya, Erwin Dwi Kristianto dari HuMa mengusulkan tiga pilar penting dalam UU Kehutanan baru.

Yaitu transisi dari rezim pengurusan ke pengelolaan, pengakuan hutan adat sebagai bagian dari pengukuhan kawasan hutan, dan pemulihan hutan yang rusak.

“Negara semestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” ujarnya.

Sementara akademisi kehutanan Dr. Eko Cahyono, M.Si, menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan kebijakan kehutanan dengan tujuan konstitusi, yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

“Koreksi fundamental atas regulasi dan kebijakan kehutanan niscaya dilakukan untuk mengembalikan mandat konstitusional dan meluruskan salah asuh negara atas hutan Indonesia,” kata Eko.

Tak Ramah Iklim dan Abaikan Perempuan

Koalisi juga menilai bahwa UU Kehutanan lama belum menjawab tantangan perubahan iklim dan keadilan gender. 

Sadam Afian Richwanudin dari Yayasan MADANI Berkelanjutan menyebut bahwa regulasi ini tidak relevan karena tidak memasukkan agenda perubahan iklim, padahal Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement sejak 2016.

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan