UU Pemilu
Kosgoro 1957: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional
Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu.
Di tempat yang sama pakar sosiologi hukum dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah berharap adanya pelibatan publik.
"Pelibatan publik dalam putusan MK tidak ada, maka putusan MK 135 harus diselesaikan dengan cara duduk bersama dengan seluruh stakeholder untuk menemukan solusi," katanya.
Sementara pengamat politik, Hendri Satrio menyebut putusan MK 135 terlihat tergantung penguasanya, maka putusannya bisa sesuai dan tidak sesuai.
"Putusan MK tergantung penguasa jika tidak menguntungkan penguasa maka akan dikritik bahkan ditolak tapi jika menguntungkan maka dianggap final dan mengikat," tegasnya.
Hendri juga menyebutkan Indonesia saat ini demokrasinya dalam proses belajar maka banyak fenomena-fenomena yang terjadi. "Saya melihat putusan MK salah satunya membantu penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pada 2019 banyak yang meninggal dunia," ungkapnya
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin dengan adanya putusan MK 135 ini, mau tidak mau karena diakuinya kata "final dan mengikat" maka tidak hanya menghormati saja, tapi juga melaksanakannya.
"Maka perlu kiranya kita semua mencari cara agar putusan itu bisa dilaksanakan karena kita setuju final dan mengikat jadi bukan hanya dihormati saja tapi dijalankan, apalagi saya melihat substansi putusan MK 135 itu banyak yang positif juga kok," tuturnya
Diantaranya, lanjutnya putusan MK mengkonklusikan eksekutif dan legislatif harus melalui pemilihan umum dan itu lah yang diinginkan masyarakat.
"Dengan Putusan ini artinya metode pemilihan lewat DPRD tidak bisa dilakukan, tapi tetap harus dilakukan melalui pemilihan. Masih banyak waktu untuk mengkaji dan mencari solusi atas perbedaan pendapat yang muncul saat ini," jelasnya.
Sementara, Guru Besar Unas, Ganjar Razuni menilai MK perlu diawasi terkait apa-apa saja yang perlu, penting dan urgensi untuk dilakukan uji materi.
"Mengenai menguji materi itu batasannya apa? Termasuk apa yang dimaksud final dan mengikat. Bagi saya MK menjadi diktaktur konstitusional," tandasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.
UU Pemilu
Wacana Evaluasi Pilkada, Model Asimetris Diusulkan Untuk Efisiensi dan Hindari Konflik Horisontal |
---|
Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak |
---|
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final |
---|
Singgung Evaluasi Total Pemilu, Cak Imin Dukung Pilkada Dipilih DPRD |
---|
Wamendagri: Efisiensi Dalam RUU Pemilu Jangan Sampai Mengorbankan Substansi Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.