Senin, 8 September 2025

UU Pemilu

Kosgoro 1957: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional

Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu. 

Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Handout/IST
PUTUSAN MK SOAL PEMILU - Kosgoro 1957 saat menggelar Diskusi Publik dengan tema Menata Ulang Konsep Keserentakan Pemilu, Solusi Legislasi Putusan MK 135/PUU-XXII/ 2024 di Jakarta, Jumat (18/7/2025)/HO-Kosgoro 1957 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Pertimbangan Organisasai (MPO) Kosgoro 1957 HR Agung Laksono mengungkapkan adanya kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu

Putusan MK tersebut menurutnya menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius.

Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.

"Kalau dilaksanakan bisa melanggar konstitusi, tapi kalau tidak dilaksanakan juga bisa melanggar konstitusi. Tentu putusan itu harus kita sikap secara konstruktif dan dewasa," kata Agung dalam sambutannya di Diskusi Publik dengan tema Menata Ulang Konsep Keserentakan Pemilu, Solusi Legislasi Putusan MK 135/PUU-XXII/ 2024 di Jakarta, Jumat (18/7/2025).

Agung mengatakan diskusi yang diselenggarakan Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957 (IBI-K57) dengan Kosgoro 1957 untuk mencari solusi terbaik. 

"Hasil pemikiran ini tentu akan si sampaikan kepada kader Kosgoro 1957 yang menjadi anggota DPR RI dan pengurus di daerah, termasuk juga ke Partai politik," ujarnya.

Mantan Menkokesra ini juga berharap putusan-putusan MK bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.

"Keputusan MK harus bisa memperkuat NKRI," tegasnya. 

Sementara Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 ini. 

"Karena tak boleh DPRD-nya kosong, kalau gubernur atau wakil masih boleh," kata dia.

Dia menyebutkan dari pendapat yang berkembang saat ini munculnya pendapat dan sikap dikarenakan alasan prinsip. Perbedaan penafsiran akan pasal 22 E ayat (1) dan (2) Bab VII B, dan harus disatukan dengan pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, dengan berbeda penafsiran, dianggap putusan MK 135 Tahun 2024 tidak sesuai ketentuan konstitusi. 

"Jika ditindaklanjuti oleh DPR RI, akan pula merasa tindak lanjut tersebut harus mengabaikan perbedaan penafsiran yang sangat prinsip ini yang tentu implikasinya menjadi panjang dan rumit. Sebab, untuk tindak lanjut harus melakukan perubahan terlebih dahulu UUD NRI Tahun 1945, apakah perubahan terbatas atau tidak," jelasnya.

Bagi MPR, kata Rambe, sesuai pasal 3 ayat (1) bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD yang pada intinya dapat atau punya kewenangan menafsirkan pasal-pasal UUD tersebut, agar segera melakukan konsultasi (sesuai Tatib) MPR pasal 26, bahwa Pimpinan MPR, berwenang: mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan Presiden dan/atau Pimpinan Lembaga Negara lainnya dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas MPR, serta mengundang pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok DPD untuk mengadakan rapat gabungan. 

Konsultasi juga dilakukan kepada yang dianggap perlu atas hal tersebut, agar tidak menjadi dan mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. 

"Hal mana sengketa kewenangan tersebut diputus oleh MK sendiri. Untuk kita ketahui pula bahwa yang membatalkan putusan MK adalah MK sendiri. Namun jika seandainya kita taat pada keputusan MK tersebut bahwa dalam menata ulang konsep keserentakan pemilu, solusi legislasi pasca putusan MK tersebut dapat dilakukan dengan prinsip mengikuti putusan-putusan MK yang tidak bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.

Di tempat yang sama pakar sosiologi hukum dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah berharap adanya pelibatan publik.

"Pelibatan publik dalam putusan MK tidak ada, maka putusan MK 135 harus diselesaikan dengan cara duduk bersama dengan seluruh stakeholder untuk menemukan solusi," katanya.

Sementara pengamat politik, Hendri Satrio menyebut putusan MK 135 terlihat tergantung penguasanya, maka putusannya bisa sesuai dan tidak sesuai. 

"Putusan MK tergantung penguasa jika tidak menguntungkan penguasa maka akan dikritik bahkan ditolak tapi jika menguntungkan maka dianggap final dan mengikat," tegasnya.

Hendri juga menyebutkan Indonesia saat ini demokrasinya dalam proses belajar maka banyak fenomena-fenomena yang terjadi. "Saya melihat putusan MK salah satunya membantu penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan pada 2019 banyak yang meninggal dunia," ungkapnya

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin dengan adanya putusan MK 135 ini, mau tidak mau karena diakuinya kata "final dan mengikat" maka tidak hanya menghormati saja, tapi juga melaksanakannya.

"Maka perlu kiranya kita semua mencari cara agar putusan itu bisa dilaksanakan karena kita setuju final dan mengikat jadi bukan hanya dihormati saja tapi dijalankan, apalagi saya melihat substansi putusan MK 135 itu banyak yang positif juga kok," tuturnya

Diantaranya, lanjutnya putusan MK mengkonklusikan eksekutif dan legislatif harus melalui pemilihan umum dan itu lah yang diinginkan masyarakat. 

"Dengan Putusan ini artinya metode pemilihan lewat DPRD tidak bisa dilakukan, tapi tetap harus dilakukan melalui pemilihan. Masih banyak waktu untuk mengkaji dan mencari solusi atas perbedaan pendapat yang muncul saat ini," jelasnya.

Sementara, Guru Besar Unas, Ganjar Razuni menilai MK perlu diawasi terkait apa-apa saja yang perlu, penting dan urgensi untuk dilakukan uji materi.

"Mengenai menguji materi itu batasannya apa? Termasuk apa yang dimaksud final dan mengikat. Bagi saya MK menjadi diktaktur konstitusional," tandasnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan. 

Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. 

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.

Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.

Baca juga: PDIP Masih Kaji Opsi Pemisahan Pemilu Pasca Putusan MK, Tunggu Megawati Pulang dari China

Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan